Selasa, Juni 02, 2009

Ahlussunnah wal Jamaah

MODUL
LATIHAN DASAR PEMANTAPAN
LDP ASWAJA


PENDAHULUAN
Latihan Dasar Pemantapan Paham Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja’) merupakan suatu bentuk kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh Ikatan Mahasiswa Nahdliyyin (IMAN) sebagai sebuah organisasi warga Nahdliyyin. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan landasan yang kokoh dan kuat atas amalan ibadah maupun mu’amalah yang telah berkembang dan berurat akar dalam tradisi Indonesia khususnya kaum tradisionalis berdasarkan Al Quran, Al Hadits dan pendapat para ulama’. Selain itu, kegiatan ini juga dimaksudkan sebagai jawaban komunitas Islam tradisional terhadap tuduhan kaum modernis, yang memandang kaum tradisonalis menyimpang jauh dari tuntunan dan ajaran Islam.
Kegiatan Latihan Dasar Pemantapan Paham Ahlussunnah wal Jamaah diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut:
Memberikan dasar yang mantap berdasarkan Al Qur’an, Al Hadits dan pendapat para Ulama’ kepada para anggota IMAN khususnya dan umat Muslim pada umumnya dalam menjalankan amal ibadah dan mu’amalah yang telah dilakukannya setiap hari selama ini terutama atas masalah-masalah khilafiyah yang selalu dipertentangkan oleh sebagian umat Islam dimana masalah tersebut sebenarnya tidak perlu dipertentangkan karena masing-masing juga telah memiliki dalilnya.
Memberikan kemantapan hati sebagai modal yang cukup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh para mu’taridhin (orang-orang yang menentang khususnya amalan kaum Nahdliyyin) karena dalam LDP Paham Aswaja’ akan dipaparkan hujjah dan dalil dari amalan yang dimaksud. Namun, apabila dari pihak mu’taridhin itu masih berbeda pendapat dan menolak, mereka dipersilahkan menempuh jalannya sendiri karena masalah khilafiyah ijtihadiyah, tidak dapat saling menggugurkan. Tetapi tidak semua pendapat orang itu bisa diterima dan tidak semua khilaf itu mu’tabar (diperhitungkan) karena hanya khilaf (perbedaan pendapat) yang memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkanlah yang dapat diterima.
Semoga uraian singkat ini membawa manfaat bagi seluruh umat Islam dan dapat dipergunakan dengan uraian-uraian lain tentang hal-hal yang harus menjadi landasan berpikir, bersikap, dan bertindak bagi kaum Nahdliyyin khususnya dan kaum Ahlussunnah Wal Jamaah pada umumnya.
Kita memohon kepada Allah untuk selalu mendapat ridla dan rahmat-Nya di dalam segala amal dan perbuatan kita termasuk di dalamnya semoga Ikatan Mahasiswa Nahdliyyin dapat istiqomah menyelenggarakan kegiatan Latihan Dasar Pemantapan Paham Ahlussunnah wal Jamaah demi meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Materi 1
Pengertian Aswaja
Penjelasan mengenai ASWAJA
Sendi utama ajaran islam
Hadits Shahih tentang 73 Golongan
Sumber Hukum Islam
Ijtihad
Ciri-ciri Aqidah Aswaja (Mengenal Imam Asy’ary dan Imam Maturidi)
Ciri-ciri Syariat Aswaja (Mengenal Kewajiban Bermadzhab dan Imam-imamnya)
Madzhab
Madzhab Imam Syafi’i
Masalah Hadits Dhaif
Taqlid
Talfiq
Persoalan Bid’ah
Hadits tentang Semua Bid’ah Itu Sesat
Ciri-ciri Tasawuf Aswaja (Mengenal Imam
Ghazali dan Imam Junaid serta ajarannya)

A. PENGERTIAN ASWAJA
Penjelasan mengenai ASWAJA
Aswaja merupakan singkatan dari istilah Ahl al-Sunah wa al- ajma ah. Ada tiga kata yang membentuk tiga kata tersebut:
berarti keluarga, golongan atau pengikut.
Al-sunnah, yaitu sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah SAW
Al-Jama’ah, yakni apa yang disepakati oleh sahabat Rasul SAW pada masa al-Khulafa al-Rasyidun (Khalifah Abu Bhakar RA, Umar bin Khatab RA, Utsman bin Affan RA dan Ali bin Abi Thalib RA).
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dalam kitabnya, al-Gunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, “Yang dimaksud dengan al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasul SAW (meliputi ucapan dan ketetapan beliau). Sedangkan pengertian al-jamaah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Rasulallah SAW pada masa al-Khulafah al-Rasyidun yang empat yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah SWT memberikan rahmat kepada mereka semua)”. (Al–Gunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, juz, I hal 80)
Selanjutnya, Syeikh Abi al-Fadhl bin Abdussyakur menyebutkan dalam kitab al-Khawakib al-Lamma’ah, “Yang disebut Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi SAW dan jalan para sahabatnya dalam masalah ini akidah keagamaan, amal-amal lahiriah, serta akhlak hati”. (Al-Khawakib al-Lamma’ah, hal 8-90).
Jadi, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan ajaran yang mengikuti semua yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain, ada tiga ciri khas kelompok ini, yakni tiga sifat yang selalu diajarkan Nabi SAW dan para sahabatnya. Ketiga prinsip itu adalah sebagai berikut:
prinsip al-Tawasuth (sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri atau kanan),
prinsip al-Tawazun (seimbang dalam segala hal termasuk dalam penggunaan dalil Aqli dan dalil Naqli), dan
prinsip al-I’tidal (tegak lurus).
Ketiga prinsip tersebut bisa dilihat dalam masalah keagamaan (teologi), perbuatan lahiriah (fiqh) serta masalah akhlak yang mengatur gerak hati, (tashawwuf). Dalam praktik keseharian, ajaran Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah di bidang teologi tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Sedangkan dalam masalah perbuatan badaniyah termanifestasikan (terwujud) dengan mengikuti mazhab yang empat yakni Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’I dan madzhab Hambali. Dalam tashawwuf mengikuti rumusan Imam Junaidi al- Baghdadi dan Imam al-Ghazali.
Sebagaimana definisi yang sangat sederhana, yang disenandungkan dalam untaian nazham oleh KH. Zainal Abidin Dimyathi.
Pengikut Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah mereka
yang mengikuti madzhab para imam
Dalam masalah ushul (akidah) mereka mengikuti
madzhab Imam Asy ari dan Maturidi
Dalam bidang fiqh mengikuti salah satu madzhab
yang menjadi pimpinan umat ini
Imam Syafi’I dan Imam Hanafi yang cemerlang
serta Imam Malik dan Imam Hambal
Dalam bidang tashawwuf dan thariqah
mengikuti ajaran Imam Junaid
(Al-Idza ah al-Muhimmah, 47)
Salah satu alasan dipilihnya ulama-ulama tersebut oleh salafuna al-shalih, sebagai panutan dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jamaa’ah karena mereka mampu membawa ajaran-ajaran yang sesuai dengan intisari agama Islam yang telah digariskan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnay. Dan mengikuti hal tersebut merupakan kewajiban bagi umatnya. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Dari Abdurahman bin Amr al-Sulami, sesungguhnya ia mendengar al-Irbadh bin Syariah berkata, ”Rasulullah SAW menasehati kami, ”Kalian wajib bepegang teguh pada sunnahku (apa yang aku ajarkan) dan perilaku khulafau al-Rasyidun yang mendapat petunjuk.” (Musnad Ahmad bin hambal, 16519)
Karena itu, sebenarnya Ahl Sunnah wa al-Jama’ah adalah Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan sesuai dengan apa yang telah digariskan dan diamalkan oleh sahabatnya. Ketika Rasulullah SAW menyatakan umatnya akan terpecah-pecah menjadi 73 golongan, dengan tegas Nabi mengatakan bahwa yang benar adalah mereka yang tetap berpedoman pada apa saja yang diperbuat oleh Nabi SAW dan para sahabatnya pada waktu itu (ma’ana alaihi al-yawm wa ashabihi).
Maka, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sesungguhnya bukanlah aliran yang baru muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari hakiki agama islam. Ahl al-Sunnah wa al-Jamaa’ah justru berusaha untuk menjaga agama Islam dari beberapa aliran yang akan mencerabut ajaran Islam dari akar pondasinya semula. Setelah aliran-aliran itu semakin merajalela, tentu diperlukan suatu gerakan untuk menyosialisasikan dan mengembangkan kembali ajaran murni Islam. Sekaligus merupakan salah satu jalan untuk mempertahankan, memperjuangkan dan mengembalikan agama Islam agar sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat beliau. (Khittah Nahdhiyyah, 19-20)
Jika sekarang banyak kelompok yang mengaku dirinya termasuk Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, maka mereka harus membuktikannya dalam praktik keseharian bahwa ia benar-benar telah mengamalkan sunnah Rasulullah SAW dan sahabatnya. Abu Said al-Kadimi berkata, ”(Jika ada yang bertanya) semua kelompok mengaku sebagi golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Jawaban kami adalah ”bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, itu bukan klaim semata, namun harus diwujudkan (diaplikasikan) dalam perbuatan dan ucapan. Pada zaman kita sekarang ini, perwujudan itu dapat dilihat dengan apa yang tertera dalam hadits-hadits yang shahih seperti Shahih al-Bukhari dan kitab-kitab lainnya yang telah disepakati validitasnya”. (Al-Bariqah Syarh al-Thariqah, hal 111-112)
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dirumuskan bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, merupakan ajaran yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Dan itu tidak bisa hanya sebatas klaim semata, namun harus dibuktikan dalam tingkah laku sehari-hari.
Tiga Sendi Utama Ajaran Islam
Berdasarkan hadits Nabi Muhammmad SAW yang menjelaskan tiga hal yang menjadi prinsip utama dalam agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw., disebutkan bahwa, ”Dari Umar bin Khatthab RA, ”Pada suatu hari kami berkumpul bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam. Tidak kelihatan tanda-tanda kalau dia melakukan perjalanan jauh, dan tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Laki-laki itu kemudian duduk di hadapan Nabi SAW sambil menempelkan kedua lututnya kepada lutut Nabi SAW. Sedangkan kedua tangannya diletakan di atas paha Nabi SAW. Laki-laki itu bertanya, ”Wahai Muhammad beritahukanlah aku tentang Islam.” Rasulullah SAW menjawab, ”Islam adalah kamu bersaksi tiada tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah utusan Allah SWT, mengerjakan shalat, menunaikan zakat, puasa pada bulan ramadhan dan kamu haji ke Baitullah jika kamu telah mampu melaksanakannya.” Laki-laki itu menjawab, ”Kamu benar.” Umar berkata, ”Kami heran kepada laki-laki tersebut, tapi ia sendiri yang membenarkannya”. Laki-laki itu bertanya lagi, ”Beritahukanlah aku tentang Iman.” Nabi SAW menjawab ”Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, hari qiamat dan qadar Allah SWT yang baik dan yang buruk.” Laki-laki itu menjawab, ”Kamu benar.” Kemudian laki-laki itu bertanya lagi, ”Beritahukanlah aku tentang Ikhsan.” Nabi Muhammmad menjawab, ”Ikhsan adalah kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihatNya, jika kamu tidak dapat melihat-Nya, maka Ia sesungguhnya melihatmu……………Kemudian orang itu pergi. Setelah itu aku (Umar) diam beberapa saat. Kemudian Rasullah Saw bertanya kepadaku, ”Wahai Umar, siapakah orang yang datang tadi?” Aku menjawab, ”Allah SWT dan RasulNya lebih mengetahui. Nabi Muhammad SAW lalu bersabda, ”Sesungguhnya laki-laki itu adalah Jibril AS. Ia datang untuk megajarkan agamamu”. (Shahih uslim, 9)
Memperhatikan hadits ini, ada tiga hal penting yang menjadi inti dari agama yang Nabi SAW ajarkan, yakni Islam, Iman, Ihsan. Ketiga hal ini merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dalam pengamalan kehidupan beragama, tiga perkara itu harus diterapkan secara bersama-sama tanpa melakukan pembedaan. Seorang muslim tidak diperkenankan terlalu mementingkan aspek Iman dan meninggalkan dimensi Ihsan dan Islam. Dan begitu seterusnya. Sebagaimana firman allah:
”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. AL-Baqorah, 208)
Semula ketiganya merupakan kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Namun perkembangan selanjutnya para ulama mengadakan pemisahan ketiga hal tersebut. Hingga menjadikan bagian ilmu tersendiri. KH. Ahmad Siddiq mengemukakan beberapa alasan mengenai pemisahan tersebut.
Pertama, karena kecenderungan manusia yang selalu memperhatikan yang Juz’iyyah (bagian-bagian/parsial), setelah melihat secara kulliyah (keseluruhan/global), atau kecenderungan pada diri manusia yang ingin merinci suatu yang global dan pada giliirannya mengutuhkan kembali suatu yang terperinci tersebut.
Kedua, pengaruh perkembangan ilmu dan metodologi ilmu pengetahuan, dimana pengetahuan terhadap satu bagian ilmu sering dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan yang terpisah dari lainnya.
Ketiga, karena pengaruh perkembangan. Hal ini dilakukan untuk menjawab kebutuhan zaman yang mengharuskan adanya pengkhususan (spesifikasi) terhadap beberapa disiplin keilmuan, sehingga dapat mempermudah untuk dipelajari. (Pemikiran KH. Ahmad Siddiq,2)
Ketika melakukan pemisahan tersebut, para ulama berusaha merumuskan batasan dari ketiga hal itu. Izzuddin bin Abdissalam mencoba menguraikannya, sebagaimana yang dikutip oleh DR. Bakr Isma’il dalam kitab al-Fiqh al-Wadhih, ”Izzuddin bin ’Abdisalam menjelaskan dalam kitabnya yang indah, ,”Zubdah Khulashah al-Tashawwuf” bahwa Islam (dalam arti yang sempit. pen) adalah pelaksanaan beberapa hukum oleh anggota badan, Iman adalah pengakuan hati dengan tegas kepatuhan terhadap Allah SWT, dan Ihsan adalah kesadaran jiwa untuk selalu melihat kebesaran Tuhan Yang maha Kuasa dan Maha Mengetahui”. (al-Fiqh al-Wadhih min al-Kitab wa al-Sunnah, juz I, hal 13)
Uraian yang lebih terperinci diungkapkan oleh Syaikh Abdul Hayyi al Umrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad, ”Rasulullah SAW memberi nama Iman, Islam dan Ihsan sebagai Agama. Sebagaimana nama seseorang hamba (manusia) dituntut untuk percaya kepada Allah SWT, kepada semua rasul dan semua yang datang dari Allah SWT, yang kemudian disebut “Iman”, demikian pula seorang hamba diperintahkan untuk melaksanakan berbagai macam ibadah, baik ibadah qawliyyah (ucapan) dan badaniyah (gerakan badan/fisik) atau gabungan dari keduanya, seperti shalat, atau ibadah badaniah dan maaliyyah (harta) atau penggabungan dari keduanya, seperti haji dan jihad, yang selanjutnya disebut dengan “Islam”, maka seorang hamba juga diharuskan untuk mempraktikkan adab (etika dan sopan santun) yang sesuai dengan sikap penghambaannya di hadapan Tuhannya. Etika itu merupakan akhlak yang dipraktikkan Rasulullah SAW kepada Allah SWT dan kepada sesama mahluk. Aspek ini disebut dengan ”Ihsan””.(al-Tahdzir mi al-Ightirar, 145).
Penjelasan ini semakin mengerucutkan pembagian Iman, Islam dan Ihsan. Iman dikhususkan kepada perhatian terhadap dimensi ketauhidan (peng-esaan) kepada Allah SWT, Islam ditujukan kepada perbuatan lahiriah dan Ihsan dititikberatkan pada rohaniah.
Dan dalam perkembangan selanjutnya bagian-bagian itu kemudian dielaborasi sehingga menjadi bagian ilmu tersendiri yang berbeda. Perhatian terhadap Iman memunculkan ilmu tauhid atau ilmu kalam. Perhatian khusus pada aspek Islam (dalam pengertian yang sempit) menghadirkan ilmu fiqh atau ilmu hukum Islam dan penelitian terhadap dimesi Ihsan melahirkan ilmu tashawwuf atau ilmu akhlaq. (Pemikiran KH. Achamd Siddik, 1-2)
Penjelasan yang sama dapat kita temukan dalam kitab al-Tahdzir min al-Ightirar halaman 145, ”Ilmu yang membidangi persoalan akidah disebut ilmu ushuluddin (ilmu tauhid atau ilmu kalam). Sedangkan ilmu yang memfokuskan pada pembahasan amaliah sehari-hari dinamakan ilmu fiqh. Dan ilmu yang membahas tentang adab (tatakrama) diberi nama ilmu tashawwuf. (al-Tahzir min al-Ightirar hal 145)
Dapat ditarik benang merahnya bahwa inti ajaran Islam adalah Iman, Islam dan Ihsan yang harus diamalkan secara kaffah. Dan dari perjalanan sejarah, secara keilmuan berkembang dan dielaborasikan menjadi ilmu tauhid, fiqh dan tashawwuf.
Hadits tentang
Perpecahan Umat Islam (Hadits al-Iftiraq)
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tarmizhi yang menyatakan, ”Dari Abdullah bin Amr, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya kaum Bani Israil telah terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan”. Lalu sahabat bertanya, ”Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Nabi SAW menjawab, ”(golongan itu adalah orang-orang yang berpegangan pada) semua perbuatan yang pernah aku lakukan, serta semua perbuatan yang dikerjakan oleh sahabat-sahabatku”. (Sunan al-Tirmirzi 2565)
Mayoritas ulama menyatakan bahwa hadits ini dapat dijadikan pegangan karena diriwayatkan oleh banyak sahabat Nabi SAW. Dalam kitab al-Farq bain al-Firaq disebutkan, ”Abdul Qahir berkata, ”Hadits yang menjelaskan perpecahan umat Islam itu mempunyai sanad yang sangat banyak. Dan telah diriwayatkan oleh banyak sahabat Nabi Muhammad SAW. Diantaranya adalah sahabat Anas bin Malik RA. Abi Hurairah RA, Abi al-Darda RA, Jabir RA, Abi Said al-Kudri RA, Ubay bin Ka’ab RA, ’Abdullah bin Amr bin al-Ash RA, Abi Umamah RA, Watsilah bin al-Asqa’ RA, serta para sahabat yang lain.” (Al-Farq bain al-Firaq, 7-9)
Lebih lanjut al-Manawi dalam kitab Faidh al Qadir, mengungkapkan dari beberapa ulama, mengatakan bahwa hadits ini tergolong shahih dan mutawatir. Beliau menjelaskan, ”Zainal al-Iraqi berkata, ”Sanad-sanad hadits ini sangat bagus. Imam al-Hakim juga meriwayatkan dari berbagai sumber”. Kemudian ia berkomentar, ”Sanad-Sanad yang ada dalam hadits ini dapat dijadikan sebagai hujjah (pegangan dalil). Bahkan Mu’allif memperhitungkannya sebagai Hadits Mutawatir.” (Faidh al-Qadir, Juz II, hal 21)
Berdasarkan beberapa pertimbangan ini, sudah selayaknya kalau kita meyakini bahwa hadits tersebut memang shahih adanya, sehingga dapat dijadikan pedoman.
Sumber Hukum Islam
Memperbincangkan sumber hukum Islam, kita mulai dari firman Allah SWT, “Wahai orang-orang yang beriman, patuhlah kamu kepada Allah SWT, dan patuhlah kamu kepada Rasul dan Ulu al Amri di antara kamu sekalian. Kemudian jika kamu berselisih faham tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS al-Nisa, 59)
Berdasarkan ayat ini, ada empat dalil yang dapat dijadikan pijakan dalam menentukan hukum, yaitu
al-Qur’an,
al-Hadits,
Ijma, dan
Qiyas.
Sebagaimana penjelasan Abdul Wahhab Khallaf dalam Ilm Ushul al-Fiqh, ”Perintah (yang terdapat dalam kitab QS al-Nisa, 59) untuk menaati Allah SWT dan Rasulnya, merupakan perintah untuk mengikuti al-Qur’an dan al-Hadits. Sedangkan perintah untuk mengikuti Ulu al-Amr, merupakan anjuran untuk mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati (ijma’) oleh para mujtahid, sebab merekalah yang menjadi Ulu al-Amri dalam masalah hukum agama bagi kaum muslimin. Dan perintah untuk mengembalikan semua perkara yang masih diperselisihkan kepada Allah dan Rasulnya berarti perintah untuk mengikuti qiyas ketika tidak ada dalil nash (al-Qur’an dan Hadits) dan ijma’”. (Ilm Usul al-Fiqh,21)
Yang dimaksud dengan al-Qur’an adalah “Al-Qur’an adalah lafazd yang diturunkan kepada Nabi SAW sebagai mu’jizat dengan satu surat saja, dan merupakan ibadah apabila membacanya”. (Al-Khawakab al-Sathi fi Nazhm Jam al-Jawami, Juz I, hal 69)
Dengan demikian, al-Qur’an adalah firman Allah (kalamullah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang menggunakan bahasa Arab dengan membawa ajaran yang benar, supaya dapat dijadikan bukti (mu’jizat) oleh Nabi Muhammad SAW atas kerasulannya, dan agar bisa menjadi pedoman bagi orang-orang yang meyakininya, serta dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk penghambaan diri kepada Allah SWT (ibadah) bagi yang membacanya. Ia adalah kitab yang telah terkodifikasikan (tersusun) dengan dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas dan sampai kepada kita dengan cara yang mutawatir (disampaikan oleh orang banyak, sehingga tidak mungkin lagi diragukan kebenaranya) dari mulut ke mulut dan dari satu generasi ke generasi lainnya, dan selalu dijaga oleh Allah SWT dari segala bentuk perubahan.”. (Ilm Ushul al-Fiqh Abdul Wahhab Khallaf, hal 23)
Kitab suci al-Qur’an yang biasanya disebut dengan mushaf Utsmani itu terjaga dari berbagai upaya tangan-tangan kotor yang ingin merubah untuk menyisipkan walau hanya satu huruf. Secara keseluruhan al-Qur’an terdiri dari 6.666 ayat, 114 surat, dan terbagi dalam 30 juz. Hal tersebut telah diuji secara ilmiah oleh para filologi (ahli tentang manuskrip) dunia. DR. Muhammad Musthafa al-A’zhami mengutip keterangan dari Prof. Hamidullah bahwa,
Universitas Munich (Jerman) telah mendirikan dalam abad yang lalu sebuah lembaga penelitian al-Qur’an. Setelah beberapa generasi, tatkala direkturnya yang sekarang, Prof. Pretzell datang ke Paris pada tahun 1933, beliau menceritakan pada saya bahwa mereka telah mengumpulkan empat puluh dua (42) ribu salinan al-Qur’an dari salinan yang berbeda, sebagian lengkap, sebagian yang lainnya merupakan fragmen-fragmen, sebagian asli, kebanyakan foto foto yang asli dari segala penjuru dunia. Pekerjaan secara terus menerus membandingkan kata dari setiap salinan al-Qur’an itu apakah ada variasinya (perbedaannya). Tak lama sebelum perang dunia ke dua, sebuah laporan awal dan tentang percobaan diterbitkan, sehingga tentu saja menyalin kekeliruan dalam naskah al-Qur’an, tetapi tidak terdapat variasinya (tidak ada yang berbeda). Selama perang berlangsung, lembaga ini kena bom dan semuanya binasa, direktur, personalia, dan perpustakaan. (Mu’jizat al-Qur’an 57)
Ini merupakan bukti bahwa al-Qur’an benar-benar otentik, sehingga semakin mantap iman kita bahwa al-Qur’an adalah kitab suci sebagai pedoman hidup manusia beriman.
Sumber Hukum Islam yang kedua adalah al-Sunnah. Yang dimaksud al-Sunnah adalah “Yakni segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW, baik berupa perbuatan, ucapan serta pengakuan Nabi Muhammad SAW”. (Al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadits al-Syarif, 51)
Karena itu sunnah terbagi menjadi tiga yaitu
Pertama, semua ucapan Nabi SAW tentang hukum. Seperti perintah Nabi SAW untuk berpuasa Ramadhan apabila telah melihat bulan (ru’yah). Hal ini disebut dengan Sunnah Qawliyyah.
Kedua, Sunnah Fi’liyyah, yakni segala sesuatu yang dikerjakan Nabi SAW, seperti tata cara shalat yang beliau kerjakan.
Ketiga, Sunnah Taqririyyah yakni pengakuan Nabi SAW atas apa yang diperbuat oleh sahabatnya. Contohnya adalah bertayamum karena tidak ada air. (Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, hal 105)
Kitab-kitab yang mencatat al-Sunnah itu banyak sekali. Namun tidak semua dapat dijadikan pedoman dan standar untuk mengetahui hadits Nabi SAW. Karena tidak jarang, ada sebagian kitab yang memuat hadits yang kurang memenuhi standar transmisi (proses penyampaian) hadits. Karena itu, ulama membuat tingkatan kitab hadits sesuai dengan kualitas hadits yang terdapat di dalamnya.
Para ulama membagi kitab-kitab hadits kepada tiga tingkatan besar.
Tingkatan pertama adalah kitab yang memuat Hadits Mutawatir, Hadits Shahih yang ahad (tidak sampai tingkatan mutawatir, karena diriwayatkan oleh sedikit orang), serta Hadits Hasan. Misalnya Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, serta kitab al-Muwaththa’ karangan Imam Malik.
Tingkatan kedua adalah tingkatan hadits yang tidak sampai kepada tingkatan pertama, yaitu kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang yang diyakini tidak mudah memasukkan sembarangan hadits dalam kitab-kitab mereka, namun masih ada kemungkinan hadits yang mereka tulis masuk pada kategori Dha’if. Misalnya adalah Jami’al-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Musnad Ahmad bin Hanbal dan Mujtaba al-Nasa’i.
Tingkatan ketiga adalah kitab-kitab yang banyak memuat hadits Dha’if, namun kebanyakan para perawinya tidak diketahui keadaannya, apakah tergolong fasiq atau tidak. Contoh untuk golongan ketiga ini adalah Mushannaf Ibn Abi Syaibah, Musnad al-Thayalisi, Musnad Abd bin Humaid, Sunan al-Baihaqi, al-Thabarani, al-Thahawi dan Mushannaf Abdurrazaq.
Tingkatan keempat adalah kitab-kitab yang banyak mengandung hadits Dha’if, seperti kitab Hadits karya Ibn Mardawaih, Ibn Syahin, Abu al-Syaikh dan lain-lain. Jenis keempat ini tidak dapat dijadikan pedoman, karena kebanyakan sumber mereka adalah orang-orang yang kurang dapat dipercaya, karena selalu mengedepankan hawa nafsunya. (Ulum al-Hadits wa Mushthalahuh, 116-117)
Banyak usaha–usaha orang tertentu untuk melemahkan keimanan umat Islam pada Sunnah Nabi SAW. Tetapi usaha tersebut tidak menampakkan hasil dan menuai kegagalan. Karena para ulama zaman dahulu sudah memberi pagar-pagar beton yang kokoh dan tak mungkin bisa dijebol oleh siapapun juga. Al-Sunnah telah dilengkapi dengan berbagai perangkat ilmu seperti Musthalah al-Hadits, Ulum al-Rijal, al-Jarh wa al-Ta’dil, Ulum Naqd al-Matn dan sebagainya. Ini merupakan kelebihan Hadits Nabi SAW yang tidak dimiliki oleh ilmu-ilmu yang lain.
Ketika Goldziher dalam bukunya yang berbahasa Jerman Muhammedanische Studien mencoba mengacak teori ilmu hadits yang sudah baku, maka kemudian hadirlah DR. Muhammad Musthafa al-A’zhami, dengan sebuah disertasinya untuk membela kebenaran hadits secara ilmiyah, yang berjudul Dirasah fi al-Hadits al-Nabawi Wa Tharikh Tadwinihi. Yang dipertahankan dihadapan para pakar ilmu keislaman orientalis di Universitas Canbridge pada tahun 1966, di anataranya Prof. A. J. Arberry dan lulus dengan predikat sangat memuaskan (Cum Laude). Dengan demikian runtuhlah upaya Goldziher dan para koleganya tersebut.
Dalil tiga adalah Ijma’ yakni ”Yang dimaksud dengan Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid di suatu zaman tentang suatu permasalahan hukum yang terjadi ketika itu.” (Al-Waraqat fi Ushul al-Fiqh, 44)
Sedangkan dalil Ijma’ adalah firman Allah QS al-Nisa 115, sebagaimana disebutkan dalam kitab Tanqih al-Fushul Fi al-Ushul hal 822, ”Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang–orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (al-Nisa 115)
Kesepakatan itu adakalanya terjadi pada saat semua mujtahid mengemukakan pendapatnya, dan ternyata pendapat mereka semua itu sama. Inilah yang disebut dengan Ijma’ Sharih. Dan adakalanya kesepakatan itu terjadi karena ada sebagian mujtahid yang mengemukakan pendapatnya, sedangkan yang lain diam (tidak memberikan komentar), sehingga mereka dianggap setuju dengan pendapat yang dikemukakan mujtahid tersebut. Ijma seperti ini disebut dengan Ijma’ Sukuti. (Ilmu Ushu al-Fiqh, hal 23).
Contoh Ijma’ adalah kesepakatan para sahabat tentang adzan dua kali pada hari Jum’at, shalat tarawih secara berjama’ah dan semacamnya.
Dalil yang keempat adalah Qiyas, yakni sebagaimana dikemukakan oleh Ibn al-Hajib ”Ibn Hajib mengatakan, ”Qiyas adalah menyamakan hukum cabang (far) kepada ashl karena ada (kesamaan) illat (sebab) hukumnya”. (Ushul al-Fiqh Khudhari Bik, 289)
Dalam kitab Tanqih al-Fusul Fi al-Ushul, hal 89, dijelaskan bahwa dalil Ijma’ adalah QS. As-Hasyr, 2, ”Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Al-Hasyr, 2)
Contoh qiyas adalah perintah untuk meninggalkan segala jenis pekerjaan pada saat adzan Jum’at dikumandangkan. Hal ini disamakan dengan perintah untuk meninggalkan jual beli pada saat–saat tersebut, yang secara langsung dinyatakan oleh al-Qur’an, yakni firman Allah SWT, ”Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan shalat pada hari Jum’at, maka bergegaslah kamu untuk dzikir kepada Allah SWT (mengerjakan shalat Jum’at) dan tinggalkanlah jual-beli.” (QS. Al-Jumu’ah, 9)
Inilah empat dalil yang dijadikan sumber hukum Islam. Karena itu seorang muslim tidak diperkenankan menghukumi suatu perkara tanpa berlandaskan salah satu dalil tersebut. Sebagaimana ditegaskan oleh Imam Syafi’i RA dalam al-Risalah ”Selamanya seseorang tidak boleh mengatakan ini halal atau ini haram, kecuali ia telah mengetahui dalilnya. Sedangkan mengetahui dalil itu didapat dari al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ atau Qiyas.” (al-Risalah, 39)
Keempat dalil ini harus digunakan secara hirarkis (berurutan), artinya ketika memutuskan suatu persoalan hukum, maka yang pertama kali harus dilihat adalah al-Qur’an. Apabila tidak ditemukan di dalam al-Qur’an, maka meneliti hadits Nabi SAW. Jika tidak ada, maka melihat Ijma’. Dan yang terakhir adalah dengan menggunakan qiyas.
Hirarki (urutan) ini sesuai dengan orisinalitas serta tingkatan kekuatan dalilnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Amidi dalam al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam ”Yang asal dalam dalil Syar’i adalah al-Qur’an, sebab ia datang langsung dari Allah SWT sebagai musyarri’ (pembuat hukum). Sedangkan (urutan kedua) Sunnah, sebab ia berfungsi sebagai penjelasan hukum dan firman Allah SWT dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. (Yang terakhir adalah) Qiyas, sebab proses Qiyas selalu berpedoman pada Nash (al-Qur’an dan al-Sunnah) dan Ijma’. Sehingga Nash dan Ijma’, merupakan asal, sedangkan Qiyas dan Istidlal (pengguna dalil) merupakan cabang (bagian) yang selalu ikut pada yang asal”.(Al-Ikhkam Fi Ushul al-Ahkam, Juz I, hal 208)
Di samping itu, sebenarnya masih ada enam dalil yang digunakan oleh Imam Mujtahid. Yakni Mashlahah Mursalah (mashlahah yang tidak bertentangan dengan dalil syar’i), Istihsan (menganggap baik suatu perkara), Madzhab Shahabi (pendapat para sahabat), al-Urf (kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syari’at), Istishhab (menetapkan hukum yang sekarang terjadi saat itu sesuai dengan hukum yang sudah pernah berlaku sebelumnya) serta Syar’ Man Qablana (syari’at kaum-kaum sebelum Nabi Muhammad SAW)
Namun dalil-dalil tersebut masih diperselisihkan oleh para ulama. Di antara mereka ada yang menggunakan dalil yang tidak diakui oleh yang lainnya. Imam Abu Hanifah misalnya, mengakui istihsan sebagai dalil hukum, sementara Imam syafi’i menolak menggunakannya seraya berkata, ”Barang siapa yang melakukan istihsan, berarti ia telah membuat syari’at baru”.
Beberapa penjelasan di atas menunjukkan bahwa yang dapat dibuat dalil dalam syari’at adalah al-Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas. Ditambah lagi dengan beberapa dalil lain yang masih diperselisihkan para ulama. Jadi, dalil itu tidak hanya terbatas pada al-Quran dan Hadits saja, seperti yang sering dipahami selama ini.
Ijtihad
Merupakan ciri khas pesantren, mengkaji secara mendalam kitab-kitab yang dikenal dengan nama kitab kuning. Baik secara sorogan maupun wetonan. Kitab kuning itu merupakan warisan ulama salaf yang memaparkan dan menjelaskan hasil rumusan para mujtahid. Yakni seseorang yang dalam menyelesaikan sebuah persoalan melakukan ijtihad.
Sebenarnya, proses ijtihad sudah ada sejak jaman Rasulullah SAW masih hidup. Beliau pernah mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal RA ke negeri Yaman untuk menyebarkan agama Islam. Ketika sahabat Mu’az menghadap Rasulullah SAW, beliau menanyakan tentang urutan pengambilan keputusan, ”Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal RA, bahwa pada saat Rasulullah SAW mengutusnya ke negeri Yaman, beliau bertanya, ”Bagaimana cara kamu memutuskan suatu persoalan jika disodorkan kepadamu suatu masalah?” Dia menjawab, ”Saya memutuskan dengan kitab Allah.” Nabi bertanya, ”Jika kamu tidak menemukan di dalam Kitabullah?” Mu’adz menjawab, ”Saya melakukan ijtihad dan tidak bertindak sewenag-wenang.” Lalu Mu’adz berkata, ”Maka Rasulullah SAW menepuk dadanya dan bersabda, ”Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petuntuk kepada utusan Rasulullah dengan apa yang telah diridhai Rasulullah SAW.” (Sunnah al-Damiri 168)
Ijtihad mendapat legalitas (pengakuan) dalam Islam, bahkan dianjurkan. Banyak al-Qur’an dan al-Hadits yang menyinggung urgensitas ijtihad. Apapun hasilnya, ijtihad merupakan kegiatan yang terpuji. Dalam sebuah hadits dijelaskan, “Diriwayatkan dari Amr bin al-Ash, bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda ”Apabila seorang hakim memutuskan perkara lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim memutuskan suatu perkara lalu berijtihad dan hasilnya salah, maka baginya satu pahala (pahala ijtihadnya).” (Musnad Ahmad bin Hambal 17148)
Dari hadits ini, secara implisit dijelaskan bahwa hasil ijtihad bisa benar dan bisa salah. Tapi keduanya mendapatkan pahala dari Allah SWT. Oleh sebab itu, perbedaan hasil ijtihad dari masing-masing imam mujtahid (yang melakukan ijtihad) adalah sebagai rahmat. Bukan dijadikan ajang untuk berselisih dan menghancurkan persatuan umat Islam.
Prof. KH Saifuddin Zuhri menjelaskan bahwa redaksi hadits tersebut menggunakan kata al-Hakim (seorang ahli hukum). Hal ini menunjukkan bahwa yang mendapat kewenangan untuk melakukan ijtihad adalah seorang ahli hukum. Dengan kata lain, jadilah ahli hukum terlebih dahulu, baru melakukan pekerjaan ijtihad. Bukan sebaliknya, berijtihad terlebih dahulu, baru menamakan dirinya ahli hukum. (Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, 162)
Maka sungguh ironis, orang yang hanya bisa memahami al-Qur’an dan al-Hadits dari terjemahannya, sedangkan dia tidak menguasai bahasa Arab dengan baik, sudah merasa mampu berijtihad. Padahal sebenarnya, dia sedang bertaqlid buta kepada penerjemah buku tersebut, karena tidak bisa mengoreksi dan mengkritisi hasil terjemahan tersebut, apakah benar atau salah.
Ijtihad yang dimaksud adalah mencurahkan segala upaya (daya pikir) secara maksimal untuk menemukan hukum yang belum jelas di dalam al-Qur’an dan al-Hadits dengan menggunakan dalil-dalil umum (prinsip-prinsip dasar agama) yang ada dalam al-Qur’an, al-Hadits, Ijma, Qiyas serta dalil yang lainnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Suyuthi, ”Ijtihad adalah usaha seorang faqih (seorang ahli fiqh) untuk menhasilkan hukum yang bersifat zhanni (intrepretatif).” (Al-Kawkab al-Sathi’fi Nazhm Jam’al-Jawami, Juz II, hal 479)
Dengan demikian tidak sembarangan orang dapat melakukan ijtihad. Ia harus benar-benar ahli dalam ilmu agama. Yakni ahli dan memahami ilmu fiqh, ilmu tafsir, ilmu Nahwu, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar seseorang dapat melakukan proses ijtihad. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
Memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari al-Qur’an. Yaitu harus harus paham ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Termasuk di dalamnya Asbab al-Nuzul (latar belakang turunnya al-Qur’an), Nasikh-Mansukh (ayat yang menganti atau yang diganti) Mujmal-Mubayyan (kalimat yang global dan parsial), al-Am wa al-Khash- (kalimat yang umum dan khusus), Muhkam Mutasyabih (kalimat yang jelas dan yang samar), dan sebagainya.
Memiliki ilmu yang luas tentang hadits Nabi Muhammad SAW, terutama yang berkaitan dengan masalah hukum, seperti asbab al-Wurud (latar belakang munculnya hadits) dan Rijal al-Hadits (sejarah para pewaris hadits)
Menguasai persoalan-persoalan yang telah disepakati ulama (ijma’)
Memahami Qiyas serta dapat menggunakannya dalam usaha menghasilkan sebuah hukum.
Menguasai Bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam, seperti ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah dan lain sebagainya. Juga harus menguasai kaidah-kaidah Ushul al-Fiqh (cara memproduksi hukum).
Memahami dan menghayati bahwa tujuan memberlakuan hukum Islam. Yakni memahami bahwa tujuan hukum Islam adalah rahmah li al-alamin, yang terpusat pada usaha untuk menjaga perkara dharuriyyat (primer atau pokok) hajiyyat (sekunder atau pelengkap), dan tahsiniyyat (tersier atau keindahan).
Mempunyai pemahaman serta metodologi yang dapat dibenarkan untuk menghasilkan keputusan hukum.
Mempunyai niat serta akidah yang benar. Dengan kata lain, tujuannya bukan untuk mencari pangkat serta kedudukan duniawi. Namun niatnya murni karena Allah SWT, ingin mencari hukum Tuhan demi kemaslahatan seluruh umat manusia. (Ushul al-Fiqh, Abu Zahrah, 380-389)
Melihat persyaratan yang begitu ketat ini, hampir tidak seorangpun memiliki lima persyaratan itu secara utuh. Masing-masing orang memiliki kelemahan dan kelebihan yang tidak ada pada yang lainya. Bisa saja orang hanya memenuhi sebagian kecil dari persyaratan itu. Tapi orang lain memiliki bahkan menguasai persyaratan itu secara utuh. Karena itu, lalu muncul pembagian orang yang dapat melakukan ijtihad, atau yang disebut dengan mujtahid, yakni:
Mujtahid Muthlaq/Mustaqil, yaitu seseorang yang melakukan mujtahid dengan cara menciptakan sendiri kaidah istinbath (cara menggali) hukum. Masuk dalam kategori ini adalah imam mazhab yang empat, yakni al-Nu’man bin Tsabit atau Imam Abu Hanifah (80H -150H), Malik bin Anas atau Imam malik (93H-179H), Muhammad bin Idris yang dikenal dengan Imam Syafi’i (150H-204) dan Ahmad bin Hanbal, yaitu Imam Hambali (164H-241H).
Mujtahid Muntasib, yakni seseorang yang melakukan penggalian hukum dengan menggunakan metode dan kaidah istinbath imamnya (mujtahid mutlaq). Seperti Imam al-Muzani dan al-Bawaithi dari madzhab Syafi’i, Muhammad bin al-Hasan dan Abu Yusuf dari Madzhab Hanafi. Golongan ini disebut dengan Mujtahid Mutlaq Ghair al-Mustaqil.
Mujtahid Muqayyad, yaitu orang yang menggali hukum dari persoalan yang belum dibahas oleh imam mujtahidnya. Seperti al-Karkhi, al-Sharakhsi, al-Bazdawi, Abi Ishaq al-Syirazi dan lain sebagainya.
Mujtahid Madzhab/Fatwa, yaitu mujtahid yang mengikuti metode dan cara istinbath hukum imamnya, juga produk hukum dari imamnya. Dia hanya menyeleksi pendapat imamnya, mana yang shahih dan yang lemah. Misalnya, Imam al-Ghazali dan al-Juwaini dari madzhab Syafi’i.
Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang melakukan seleksi dalam madzhab tertentu, dengan memilih pendapat yang paling unggul sesuai dengan tuntutan kemaslahatan masyarakatnya. Contohnya, Imam Rafi’i dan Imam Nawawi dalam madzhab Syafi’i. (Ushul al-Fiqh Abu Zahrah, hal 30 dan Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, I, 47-48)
Lalu, apakah pintu ijtihad sudah tertutup? Kalau dilihat bahwa ijtihad merupakan kegiatan mengenali hukum yang dipetik dari al-Qur’an dan al-Hadits serta dalil yang lainnya, maka pintu ijtihad masih terbuka. Karena perkembangan zaman yang melaju begitu cepat, maka diperlukan pendampingan jawaban dari ijtihad para mujtahid. Sehingga pada setiap masa dapat dipastikan ada seorang mujtahid yang berijtihad unuk menyelesaikan persoalan hukum di tengah masyarakat. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Daqiq al-Id, ”Setiap masa tidak akan vakum dari seorang mujtahid, kecuali apabila zaman telah kacau atau kiamat telah dekat.” (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, hal 67)
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
Ijtihad merupakan usaha untuk mencari hukum Tuhan demi kemaslahatan manusia. Namun tidak semua orang dapat melakukannya. Ada syarat–syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat melakukan proses ijtihad.
hingga saat ini, pintu ijtihad masih terbuka, sampai sekarangpun masih tebuka munculnya para imam mujtahid. Namun, yang bisa memasuki pintu tersebut tentulah orang-orang yang memiliki kualitas pribadi dan keilmuan yang memenuhi syarat-syarat di atas.
B. CIRI-CIRI AKIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH
Perumus Ahl al- Sunah wa-al-Jama’ah
dalam Bidang Akidah
Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah merupakan ajaran Islam yang murni, dan sudah ada sejak masa Rasulallah SAW. Hanya saja waktu itu belum terkodifikasi serta terumuskan dengan baik. Gerakan kembali kepada ajaran Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah dimulai oleh dua ulama yang sudah terkenal pada masanya, yakni Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Karena itu, ketika ada yang menyebut Ahl al- Sunah wa al-Jama’ah, pasti yang dimaksud adalah golongan yang mengikuti rumusan kedua iman tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Imam Ahmad bin Hajar al-Haitami dalam Tathhir al-Janan wa al-Lisan, “Jika Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah orang-orang yang mengikuti rumusan yang digagas oleh Imam Asy’ari (golongan Asya’riah) dan Imam Maturidi (golongan Maturidiyyah)”. (Tathhir al-Janan wa al-Lisan, 7)
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Thasy Kubri Zadah, sebagaimana yang dikutip oleh DR Fathullahi Khulayf dalam pengantar kitab al-Tauhid karangan Imam Maturidi, “Thasy Kubri Zaddah berkata, ”Ketahuilah bahwa polopor gerakan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam ilmu kalam adalah dua orang. Satu orang bermadzhab Hanafi, sedang yang lain dari golongan Syafi’I. Seorang yang bermadzhab Hanafi itu adalah Abu Mansyur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Sedangkan yang dari golongan Syafi’i adalah Syaikh al-Sunnah, pemimpin masyarakat, imam para mutakallimin, pembela sunnah Nabi SAW dan agama Islam, pejuang dalam menjaga kemurnian akidah kaum muslimin, (yakni) Abu al-Hasan al-Asy’ari al-Bashri”. (Kitab al-Tauhid, 7)
Dua orang inilah yang menjadi polopor gerakan kembali pada ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Intisari dari kedua rumusan beliau tersebut tersimpul pada kitab-kitab yang telah diajarkan di pesantren seperti Aqidah al-Awam, Kifayah al-Awam, al-Jawahir al-Kalamiyyah. Jawharah al-Tauhid serta kitab lain yang sudah tidak asing bagi orang-orang yang belajar di pesantren.
Nama lengkap Imam Asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H /874 M dan wafat pada tahun 324 H/936 M. Beliau adalah salah satu keturunan sahabat Nabi SAW yang bernama Abu Musa al-Asy’ari. Setelah ayahnya meninggal dunia, ibu beliau menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama al-Jubba’i. Karena menjadi anak tiri al-Juba’i, Imam Asy’ari sangat tekun mempelajari aliran Mu’tazilah, sehingga beliau sangat memahami aliran ini. Tidak jarang beliau menggantikan ayahnya menyampaikan ajaran Mu’tazillah. Berkat kemahirannya ini, dan juga posisinya sebagai anak tiri dari salah seorang tokoh utama Mu’tazilah, banyak orang memperkirakan bahwa suatu saat beliau akan menggantikan kedudukan ayah tirinya sebagai salah seorang tokoh Mu’tazilah.
Namun harapan itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Fakta berbica lain. Setelah Imam Asy’ari mendalami ajaran Mu’tazillah, terungkaplah bahwa banyak celah dan kelemahan yang terdapat dalam aliran tersebut. Sesudah mengetahui beberapa kelemahan ini, beliau menyendiri dan bertafakur (merenung dan berfikir) selama 15 hari. Ia meminta kepada Allah SWT agar diberi petunjuk tentang langkah terbaik yang akan dilaluinya.
Dalam perenungan tersebut, sampailah beliau pada kesimpulan bahwa sudah saatnya untuk kembali pada ajaran yang murni, yakni ajaran yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat, serta dilanjutkan oleh ulama Salaf al-Shalih. Imam Asy’ari beranggapan apabila tetap mengamalkan ajaran Mu’tazillah yang sangat mengandalkan akal pikirannya, berarti telah melakukan dosa sosial karena mengajak orang untuk melakukan kemunafikan. Akhirnya beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan ajaran Mu’tazillah. Imam Asy’ari kemudian memproklamirkan diri dan mengajak manusia untuk kembali pada ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, seperti yang diajarkan para salaf al-shalih. (Abi Al-Hasan al-Nadwi, dalam Muqaddimah al-Ibanah, 30-30)
Setelah peristiwa ini, banyak kalangan yang memuji keberanian Imam Asy’ari. Ia dijuluki sebagai orang yang telah menyelamatkan akidah umat Islam dari gangguan kelompok-kelompok yang akan merusak kemurnian agama Islam. Beliau diposisikan sebagai pelopor gerakan kembali ke Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Gerakan yang beliau pimpin itu kemudian dikenal dengan sebutan golongan Asy’ariyah. Untuk mengokohkan akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Imam Asy’ari menulis banyak kitab, diantaranya al Ibanah an Ushul al Diyanah, Maqalat al Islamiyyin dan lain sebagainya.
Karena keberaniannya ini pula, ulama yang selama itu dibungkam dan ditindas oleh penguasa Mu’tazillah memberikan dukungan pada gerakan yang ia rintis. Maka wajar, jika pengikut beliau dari berbagi kalangan. Para Muhadditsin (ahli hadits), Fuqaha’ (ahli Fiqh) serta para ulama dari berbagai disiplin ilmu mendukung serta menjadi pengikut Imam Asy’ari. Sebagaimana yang dituturkan Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam Mafahim Yajib An Tushahhah, “Sesungguhnya mereka (pengikut Imam Asy’ari) adalah berbagai kelompok dari berbagi Muhaddisin (ahli hadits), Fuqaha (ahli Fiqh) dan Mufassirin (ahli tafsir) dari para imam yang terkemuka. “ (Mafahim Yajib An Tushahah, 111)
Di antara ulama yang mengikuti ajaran beliau dalam bidang akidah adalah Imam Nawawi (wafat tahun 676 H. penggarang kitab Riyadh al-Shalihin), Syaikh Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat pada tahun 825 H, penulis kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari serta kitab Bulugh al-Maram), Imam al-Qurtubi, pengarang Tafsir al Qurthubi, Ibn Hajar al-Haitami (wafat tahun 974H. mu’allif kitab al-Zawajir), Imam Zakariyya al-Anshari, pengarang kitab Fath al-Wahhab, serta masih banyak ulama terkenal lainnya.
Tidak sedikit pula ahli tashawwuf terkenal yang menjadi pengikut aqidah Asy’ariyah ini, seperti Abu al-Qasim Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi, penulis kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah (376-465 H) dan Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (505 H) (Tabyin Kidzb al-Muftari, 291). Bahkan seorang sufi kenamaan yang bergelar Lisan al-Alawiyyin, yakni penyambung lidah habaib, al-Habib Abdullah al-Haddad, Shahib Ratib al-Haddad mengatakan, “Al-Habib ‘Abdullah bin Alawi al-Haddad berkata, ”Kamu wajib menjaga keyakinanmu, menjernihkan serta mengokohkannya sesuai dengan metode golongan yang selamat (al-Firqah al-Najiyah). Yakni golongan yang telah dikenal diantara sekian banyak golongan Islam dengan sebutan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Mereka adalah oang-orang yang selalu berpedoman pada semua yang telah diteladankan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Apabila kamu memikirkan dengan pemahaman yang lurus, dan dengan hati yang jernih dalam teks kitab al-Qur’an dan al-Sunnah yang memuat ilmu-ilmu tentang keimanan, dan bila kamu berkaca pada sejarah hidup ulama shalaf yang shalih dari kalangan sahabat dan tabi’in, maka akan kamu ketahui dan kamu yakini bahwa kelompok yang benar akan selalu berada di pihak kelompok yang disebut dengan Asy’ariyyah,…(dan seterusnya)… Ajaran kelompok itu adalah akidah yang menjadi pedoman orang-orang yang benar di semua tempat dan seluruh zaman. Ia merupakan akidah para ahli tashawwuf, sebagaimana yang diceritakan oleh Abu al-Qasim al-Qusyairi RA dalam pengantar kitab Risalahnya. Dan alhamdulilah itu juga merupakan akidah kami (para Habaib), serta keyakinan saudara-saudara kami dari tokoh-tokoh keturunan sayyidina Husain RA yang terkenal dengan sebutan keluarga Alawi, serta aqidah seluruh datuk kami sejak masa Rasulullah SAW sampai saat ini”. (Uqud al-Almas, hal 89)
Lebih lanjut, untuk menambah keyakinan kita, beliau mendendangkan syair :
“Jadilah kamu golongan Asy’ari dalam akidahmu, karena
sesungguhnya mazdhab itu merupakan jalan yang bersih
dari segala penyelewengan dan kesesatan”.
(Uqud al-Almas, 91)
Inilah gambaran tentang kelompok Asy’ariyyah. Berkat kegigihan kelompok ini, agama Islam terhindar dari kerusakan yang disebabkan oleh menjamurnya berbagai aliran yang merusak kenurnian Islam. Karena jasanya yang sangat besar bagi agama Islam, mereka dijuluki sebagai kelompok yang telah menyelamatkan sendi-sendi ajaran Islam. Sebagaimana Ibn Taimiyaah dalam kitab al-Fatawanya dari pernyataan Abu Muhammad al-Juwaini, “Para ulama adalah penolong ilmu-ilmu agama. Sedangkan Asy’ariyyah adalah para penolong Ushul al-Din (akidah)”. (Al-Fatawa, juz IV,hal 24)
Tokoh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah yang kedua adalah Imam al-Maturidi. Nama beliau adalah Ibnu Manshur Muhammad bin Muhamad bin Mahmud al-Maturidi. Beliau lahir di daerah Maturidi dan wafat di Samarkand pada tahun 333 H/944M.
Seperti telah dijelaskan, beliau adalah seorang yang menganut madzhab Abu Hanifah. Maka wajar, jika kebanyakan ajaran beliau usung, masih merupakan bagian dari mazhab Abu Hanifah, terutama dalam bidang akidah. Karena itu banyak pakar yang menyimpulkan bahwa yang menjadi landasan pijakan Imam Maturidi adalah pendapat-pendapat Abu Hanifah dalam bidang akidah. (Tharikh al-madzhib al-Islamioyyah, juz I, hal173)
Murid-murid beliau yang terkenal ada empat orang yaitu Abu al-Qasim Ishaq bin Muhammad bin Isma’il yang terkenal sebagai Hakim Samarkand, wafat pada tahun 340 H. Lalu Imam Abu al-Hasan ‘Ali bin Sa’id al-Rasthagfani. Kemudian Imam Abu Muhammad ‘Abdul Kharim bin Musa al-Bazdawi, wafat pada tahun 390 H. dan yang terakhir adalah Imam Abu al-Laits al-Bukhari. Satu-satunya tulisan Imam Maturidi yang sampai kepada kita adalah kitab al-Tauhid yang di tahqiq (diedit) oleh DR. Fathullah Khulayf.
C. CIRI-CIRI SYARIAT ASWAJA
Madzhab
Dalam kehidupan beragama, istilah madzhab sudah lazim kita dengar. Dan sudah menjadi kesepakatan bahwa dalam fiqh, NU berpegangan pada salah satu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Madzhab Hambali. Hal ini berarti semua warga Nahdliyyin diberi kebebasan untuk mengikuti salah satu aturan yang berlaku dalam empat madzhab tersebut.
Secara bahasa madzhab berarti jalan. ”Madzhab berarti jalan” (Al- Qamus al-Muhith 86). Sedangkan pengertian madzhab secara istilah sebagaimana dijelaskan oleh KH. Zainal Abidin Dimyathi dalam kitabnya al-Idza’ah al-Muhimmah adalah ”Madzhab adalah hukum-hukum dalam berbagai masalah yang diambil, diyakini dan dipilih oleh para imam mujtahid.” (Al-Idza’ah al-Muhimmah, 18)
Madzhab tidak akan terbentuk dari hukum yang telah jelas (qath’i) dan disepakati para ulama. Misalnya bahwa shalat itu wajib zina haram dan semacamnya. Madzhab itu ada dan terbentuk karena terdapat beberapa persoalan yang masih terjadi perselisihan di kalangan ulama. Kemudian hasil pendapat itu disebarluaskan serta diamalkan oleh para pengikutnya.
Jadi, madzhab itu merupakan hasil elaborasi (penelitian secara mendalam) para ulama untuk mengetahui hukum tuhan yang terdapat dalam al-Qur’an, al-Hadits serta dalil yang lainnya. Dan sebenarnya, madzhab yang boleh diikuti tidak terbatas pada empat saja. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sayyid ’Alawi bin Ahmad al-Seggaf dalam Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, ”(Sebenarnya) yang boleh diikuti itu tidak hanya terbatas pada empat madzhab saja. Bahkan masih banyak madzhab ulama yang boleh diikuti, seperti madzhab dua Sufyan (Sufyan al-Tsauri dan Sufyan bin Uyainah), Ishaq bin Rahawaih, Imam Dawud al-Zhahiri, dan al-Awza’i.” (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah. 59)
Namun mengapa yang diakui serta diamalkan oleh ulama golongan Ahl al Sunnah wa al Jama’ah hanya empat madzhab saja?
Sebenarnya, yang menjadi salah satu faktor adalah tidak lepas dari murid-murid mereka yang kreatif, yang membukukan pendapat-pendapat imam mereka sehingga pendapat imam tersebut dapat terkodifikasikan dengan baik. Akhirnya, validitas (kebenaran sumber dan salurannya) dari pendapat-pendapat tersebut tidak diragukan lagi. Di samping itu, madzhab mereka telah teruji ke-shahihan-nya, sebab memiliki metode istinbath (penggalian hukum) yang jelas dan telah tersistematisasi dengan baik, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sebagaimana yang diuraikan oleh Sayyid Alwi bin Ahmad al-Seggaf, ”Sesungguhnya ulama dari kalangan madzhab Syafi’i RA menjelaskan bahwa tidak boleh bertaqlid kepada selain madzhab yang empat, karena selain yang empat itu jalur periwayatannya tidak valid, sebab tidak ada sanad yang bisa mencegah dari kemungkinan adanya penyisipan dan perubahan. Berbeda dengan madzhab yang empat. Para tokohnya telah mencurahkan kemampuannya untuk meneliti setiap pendapat serta menjelaskan setiap sesuatu yang memang pernah diucapkan oleh mujtahidnya atau yang tidak pernah dikatakan, sehingga para pengikutnya merasa aman (tidak merasa ragu atau khawatir) akan terjadinya perubahan, distorsi pemahaman, serta mereka juga mengetahui pendapat yang shahih dan yang dha’if”. (Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, 59)
Pada perkembangan selanjutnya para ulama pesantren terus-menerus berusaha untuk membangkitkan sistem bermadzhab ini. Karena zaman bergulir begitu cepatnya, waktu melesat tak dapat dicegat, dan perubahan tidak dapat dielakkan, sementara fiqh Islam harus hadir memberikan solusi untuk menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan, maka umat Islam di tuntut untuk dapat berkreasi dalam memecah berbagai persoalan tersebut. Sehingga diperlukan pendekatan ’baru’ guna membuktikan slogan shaliha likulli makaa na wazamaani. Salah satu bentuknya adalah dengan mengembangkan pola bermadzhab secara tekstual (madzhab qawli) menuju pola bermadzhab metodologis (madhzhab manhaji) dalam fiqh Islam, sebagaimana yang digagas oleh DR. KH. Sahal Mahfudh.
Mengutip hasil halaqoh P3M, ada beberapa ciri yang menonjol dalam fiqh sosial. Ciri-ciri tersebut diantaranya adalah melakukan interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual, perubahan pola bermadzhab, dari madzhab kontekstual (madzhab qawli) menuju pola bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji), verifikasi ajaran secara mendasar, dengan membedakan ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’), dan pengenalan metodologi filosofi, terutama dalam masalah budaya dan sosial. (KH.Sahal Mahfudh, dalam Duta Masyarakat, 18 Juni 2003)
Namun demikian, usaha ini hanya bisa dilakukan dalam persoalan sosial kemasyarakatan (hablun min-al nas), tetapi tidak bisa masuk kepada khaliqnya (hablum minallah). Artinya, dalam hubungan dengan sesama manusia, kaum muslimin harus membuat berbagai terobosan baru untuk menjawab dinamika sosial yang terus bergulir dengan cepat. Namun itu tidak berlaku dalam hubungan vertikal hamba dengan Sang Khalik. Sebab yang dibutuhkan dalam ibadah adalah kepatuhan seorang hamba yang tunduk dan pasrah menyembah kepada-Nya. Sebagaimana kaidah yang diungkapkan oleh al-Syathibi al-Muwafaqat-nya “Yang asal dalam masalah ibadah adalah ta’abbud (dogmatis) tanpa perlu melihat maknanya. Sedangkan asal dalam mu’amalah (interaksi antara sesama manusia) adalah memperhatikan maknanya (esensinya).” (Al-Muwafakat fi Ushul al-Ahkam, juz II, hal 300)
Dari penjelasan sederhana ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan.
Madzhab merupakan sebuah ’jalan’ yang ’disediakan’ oleh para mujtahid sebab adanya perbedaan pendapat di antara mereka.
Umat Islam tidak terikat pada satu madzhab tertentu dan mereka diberi kebebasan untuk memilih madzhab.
Namun, yang berhak diikuti hanya terbatas pada empat madzhab saja, yakni madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Hal ini disebabkan kodifikasi dasar dan metode hukum yang mereka ambil sangat valid dan terjaga serta diakui umat muslim keseluruhan.
Umat Islam perlu mengembangkan pola bermadzhab yang dapat menjamin kemaslahatan masyarakat, khususnya dalam masalah sosial kemasyarakatan.
Dalam hal perbedaan ini, sangat dilarang adanya fanatisme bermadzhab yang dapat menimbulkan sikap menyalahkan atau bahkan mengkafirkan madzhab lain, mengingat Imam Syafi’i sendiri begitu menghormati Imam Malik, gurunya, begitu juga sebaliknya, Imam Hanbali yang menghormati gurunya, Imam Syafii, dan begitu pula sebaliknya. Bahkan terhadap salah satu Imam madzhab empat yang diikuti, para Imam Mujtahid setelah mereka memiliki perbedaan pendapat pada beberapa hal. Sebagai contoh, diantaranya pendapat yang dipegang Imam Nawawi dengan Imam madzhab yang beliau ikuti, Imam Syafi’i, yang berbeda dalam hal kenajisan babi yang mana Imam Syafii memfatwakan Najis babi termasuk Najis Mughaladhoh dan tidak dengan Imam Nawawi yang justru meringankan Najis babi dengan satu siraman saja.
Sangat dituntut supaya kita tidak bersikap fanatis berlebihan (merasa madzhab sendirilah yang paling benar) maupun sikap kebalikannya yaitu sikap tala’ub (main-main) dalam hukum agama tanpa didasari alasan yang dibenarkan sehingga mudah berpindah madzhab untuk mencari gampangnya suatu permasalahan atau bahkan menetapkan dengan keputusan sendiri yang acapkali tidak menggunakan dasar yang ditetapkan tetapi justru dengan hawa nafsu.
Madzhab Imam Syafi’i
Di Indonesia pada khususnya, dan wilayah Asia Tenggara pada umumnya, dalam bidang fiqh umat Islam mengikuti madzhab Imam Syafi’i. Dalam hal ibadah maupun hal mu’amalah, madzhab Syafi’i selalu menjadi pedoman sehari-hari.
Nama lengkap Imam Syafi’I adalah Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Beliau lahir pada tahun 150 H, brtepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Beliau wafat di Mesir pada tahun 204 H. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid muthlaq mustaqil. Selain ahli dalam bidang fiqh, beliau juga mahir dalam ilmu Hadits dan Akidah. Tentang keagungan Imam Syafi’i ini, DR. Wahhab al-Zuhaili menyatakan : “Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mustaqil muthlaq, imam dalam bidang fiqh dan hadits. Beliaulah yang mampu menggabungkan fiqh Ulama Hijaz (sekarang wilayah Makkah dan Madinah) dan fiqh Ulama Iraq. Imam Ahmad berkomentar, ”Imam Syafi’i adalah orang yang paling mengerti tentang kitab Allah dan sunah Rasulallah SAW” ….(seterusnya)….. Semua ulama ahli fiqh, ushul, hadits, ahli bahasa serta ulama yang lain telah sepakat bahwa Imam Syafi’i adalah seorang yang amanah, adil, zuhud, wara’, bertaqwa, pemurah, reputasinya baik dan mempunyai kedudukan yang mulia.” (Al-Fiqh wa Adillatuh, juz I, hal 36)
Inilah keistimewaan dari pendiri madzhab Syafi’i RA. Apa yang beliau rintis kemudian diteruskan oleh para pengikutnya, seperti Yusuf bin Yahya al-Buwaithi, Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya al-Muzani, dan lainnya. Termasuk pengikut madzhab Syafi’i adalah Imam Bukhari. Syaikh Waliyullah al-Dahlawi menyebutkan dalam Al-Inshaf fi Bayani Asbab al-Ikhtilaf “Termasuk kelompok ini (pengikut madzhab Syafi’i) adalah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari. Sesungguhnya beliau termasuk salah satu kelompok pengikut Imam Syafi’i. Di antara ulama yang mengatakan bahwa Imam Bukhari termasuk kelompok Syafi’iyyah adalah Syaikh Tajuddin al-Subki. Beliau mangatakan, ”Imam Bukhari itu belajar agama kepada Imam Syafi’i. Beliau juga berdalil tentang masuknya Imam Bukhari dalam kelompok Syafi’iyyah, sebab Imam Bukhari telah disebut dalam kitab Thabaqat Syafi’iyyah.” (Al-Inshaf fi Bayani Asbab l-Ikhtilaf, 76)
Keterangan yang sama diungkapkan oleh Syaikh Musthafa Muhammad Imarah “Dan Imam Bukhari itu belajar (mengikuti) madzhab Syafi’I RA.” (Jawahir al-Bhukhari, 10)
Apabila dianalogikan pada keahlian, maka Imam Bukhari pakar bahan baku, tetapi metode pengolahannya tetap mengikuti teori Imam Syafi’I RA. Sedangkan Imam Syafi’ RA, disamping ahli “bahan baku” beliau juga ahli mengolah “bahan baku” tersebut. Maka tidak heran, beliau itu menghasilkan produk hukum yang diikuti oleh umat Islam, termasuk juga para pakar Hadits.
MASALAH HADITS DHA’IF
Sebagai salah satu sumber hukum Islam, hadits berfungsi menjelaskan, mengukuhkan serta melengkapi firman Allah SWT yang terdapat dalam al-Qur’an. Di antara berbagai macam hadits itu, ada istilah Hadits Dha’if. Dalam pengamalannya, terjadi silang pendapat diantara ulama. Sebagian kalangan ada yang tidak membenarkan untuk mengamalkan Hadits Dha’if. Bahkan ada yang mengatakan bahwa hadits tersebut bukan dari Nabi Muhammad SAW.
Secara umum hadits dibagi ke dalam tiga macam, yaitu:
Hadits Shahih yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil punya daya ingatan yang kuat, mempunyai sanad (mata rantai orang-orang yang meriwayatkan hadits) yang bersambung kepada Rasulullah SAW, tidak memiliki kekurangan serta tidak syadz (menyalahi aturan umum). Para ulama sepakat bahwa Hadits ini dapat dijadikan dalil., baik dalam masalah hukum, akidah dan lainnya.
Hadits Hasan yaitu hadits yang tingkatannya berada di bawah Hadits Shahih karena para periwayat hadits ini memiliki kualitas yang lebih rendah dari para perawi Hadits Shahih. Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil sebagaimana Hadits Shahih.
Hadits Dha’if, yakni hadits yang bukan Shahih dan juga bukan Hasan, karena diriwayatkan oleh orang –orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perawi hadits, atau para perawinya tidak mencapai tingkatan sebagai perawi Hadits Hasan. Hadits Dha’if ini terbagi menjadi dua, yaitu:
Pertama, ada riwayat lain yang dapat menghilangkan ke-dha’ifan-nya. Hadits semacam ini disebut Hadits Hasan li Ghairi, sehingga dapat diamalkan serta boleh dijadikan dalil Syar’i.
Kedua, hadits yang tetap dalam ke-dha’ifan-nya. Hal ini terjadi karena tidak ada riwayat lain yang menguatkan, atau karena para perawi hadits yang lain itu termasuk orang yang dicurigai sebagai pendusta, tidak kuat hafalannya atau fasiq. Dalam kategori yang kedua ini, Para ulama mengatakan bahwa Hadits Dha’if hanya dapat diberlakukan dalam fadha’il al a’mal. Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa telah terjadi ijma’ di kalangan ulama tentang kebolehan mengamalkan Hadits Dha’if jika berkaitan dengan fadha’il al a’mal ini. Sedangkan dalam masalah hukum, tafsir ayat al-Qur’an, serta akidah, maka apa yang termaktub dalam Hadits Dha’if tersebut tidak dapat dijadikan pedoman. Sebagaimana yang disitir oleh Sayyid ’Alawi al-Maliki dalam kitabnya Majmu’ Fatawi wa Rasa’il “Para ulama hadits dan lainnya sepakat bahwa Hadits Dha’if dapat dijadikan pedoman dalam masalah fadha’il al a’mal. Di antara ulama yang mengatakannya adalah Imam Ahmad bin Hambal, Ibn Mubarak, dua Sufyan, al-Anbari, serta ulama lainnya. (Bahkan) Ada yang menyatakan, bahwa mereka pernah berkata, “Apabila kami meriwayatkan (hadits) menyangkut perkara halal ataupun yang haram, maka kami akan berhati-hati. Tapi apabila kami meriwayatkan hadits tentang fadha’il al a’mal, maka kami melonggarkannya.” (Majmu Fatawi wa Rasa’il 251)
Bahkan Imam Ahmad mengatakan “Sesungguhnya hadits dha’if itu didahulukan dari pendapat seseorang.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il, ,251)
Namun demikian, kebolehan ini harus memenuhi tiga syarat. Pertama, bukan hadits yang sangat dha’if. Karena itu, tidak boleh mengamalkan suatu hadits yang diriwayatkan orang yang sudah terkenal sebagai pendusta, fasiq, orang yang sudah terbiasa berbuat salah dan semacamnya. Kedua, masih berada di bawah naungan ketentuan umum serta kaidah-kaidah yang universal. Dengan kata lain, hadits tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama, tidak sampai menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yanng halal. Ketiga, tidak berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut berdasarkan hadits Dha’if, namun perbuatan itu dilaksanakan dalam rangka ihtiyath (berhati-hati dalam masalah agama).
Maka dapat kita ketahui, walaupun hadits Dha’if diragukan kebenarannya, tidak serta merta ditolak dan tidak dapat diamalkan. Dalam hal-hal tertentu masih diperkenankan mengamalkannya dengan syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas.
Taqlid
Secara kodrati, manusia di dunia ini terbagi menjadi dua kelompok besar. Ada yang ’alim (pintar dan cerdas serta ahli dalam bidang tertentu) dan ada ’awam (yang kurang mengerti dan memahami tentang suatu permasalahan). Sudah tentu yang tidak paham butuh bantuan yang pintar. Di dalam literatur fiqh, hal itu dikenal dengan istilah Taqlid atau ittiba.
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi mengidentifikasikan taqlid sebagai berikut ”Taqlid adalah mengikuti orang lain tanpa mengerti dalil yang digunakan atas keshahihan pendapat tersebut, walaupun mengetahui tentang keshahihan hujjah taqlid itu sendiri.” (Al-Lamadzhabiyyah Akhtharu Bid’ah al-syari’ah al-Islamiyyah, 69)
Taqlid itu hukumnya haram bagi seorang mujtahid dan wajib bagi orang yang bukan mujtahid. Imam al-Suyuthi mengatakan ”Kemudian, manusia itu ada yang menjadi mujtahid dan ada yang tidak. Bagi yang bukan mujtahid wajib bertaqlid secara mutlaq, baik ia seorang awam maupun yang alim. Berdasarkan firman Allah SWT (QS. Al-Anbiya’ 7), ”Bertanyalah kamu pada orang yang alim (dalam bidangnya) jika kalian tidak tahu.” (Al-Kawkab al-Sathi’ fi Nazhmi al-Jawami 492)
Dengan demikian, yang bertaqlid itu tidak hanya terbatas pada orang awam saja. Orang-orang alim yang sudah mengetaui dalilpun masih dalam katagori seorang muqallid. Selama belum sampai pada tingkatan mujtahid, mereka wajib bertaqlid, sebab pengetahuan mereka hanya sebatas dalil yang digunakan, tidak sampai kepada proses, metode dan seluk beluk dalam menentukan suatu hukum. Al –Allamah Thayyib bin Abi Bakr al-Hadhrami menegaskan “Orang alim yang tidak sampai pada tingkatan ijtihad, maka sebagaimana orang awam, mereka wajib ber-taqlid.” (Mathlab al- Iqazh fi al-Kalam al-Syai’in min Ghurar al-Alfazh 87)
Jadi, tidak semua taqlid itu tercela. Yang tidak terpuji hanyalah taqlid buta (a’ma) yang menerima suatu pendapat mentah-mentah, tanpa mengerti dan berusaha untuk mengetahui dalilnya. Sedangkan taqlid-nya orang alim yang belum sampai pada tingkatan mujtahid adalah hal terpuji dan dianjurkan. Hal itu tentu lebih baik daripada memaksakan diri untuk berijtihad padahal tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Taqlid sesuatu yang niscaya bagi setiap orang Islam. Setidak-tidaknya ketika awal melaksanakan bagian dari ajaran Islam. Seperti orang-orang yang bersedekah, di dalam shalat, mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, dia tentu melakukannya walaupun masih belum meneliti dalilnya, apakah shahih ataukah tidak.
Jika di kemudian hari dia tahu argumetasinya, maka berarti dia telah keluar dari taqlid a’ma (taqlid buta) yang tercela itu. Namun demikian, dia tetap berstatus sebagai seorang muqallid, karena dia tidak tahu dalil-dalil tersebut secara detail. Setidaknya, dalam cara mengambil kesimpulan hukum, ia masih mengikuti metode dari imam mujtahid tertentu.
Taqlid itu sesungguhnya berlaku dalam berbagai persoalan di dalam kehidupan ini. Seorang dokter, misalnya, ketika memberikan resep obat kepada pasiennya, tentu dia mengambil dari apotik, bukan dari obat hasil temuannya sendiri. Dia cukup membeli produk perusahaan obat tertentu yang bonafit. Begitu juga seorang guru geografi, ketika menerangkan kepada murid-muridnya bahwa bumi itu bulat, di hanya mengikuti teori Galileo Galilei dan Thomas Copernicus, bukan dari hasil penelitian dia sendiri. Dan begitu seterusnya.
Kemudian, bagaimana dengan Imam Abu Dawud yang meriwayatkan ucapan Imam Ahmad bin Hanbal “Imam Ahmad berkata kepadaku, ”Janganlah kamu bertaqlid kepadaku, juga kepada Imam Malik, Imam Syafi’I, al-Awza’i, dan al-Tsauri. Tapi galilah dalil-dalil hukum itu sebagaimana yang mereka lakukan.” (Al-Qawl al-Mufid li al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani 61)
Coba perhatikan dengan seksama, kepada siapa Imam Ahmad berbicara? Beliau menyampaikan ucapan itu kepada Abu Dawud pengarang kitab Sunan Abi Dawud yang memuat lima ribu dua ratus delapan puluh empat hadits lengkap dengan sanadnya. Tidak kepada masyarakat kebanyakan. Sehingga wajar, kalau imam mengatakan hal itu kepada Imam Abu Dawud, sebab ia telah memiliki kemampuan untuk berijtihad.
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Syaikh Waliyullah al-Dahlawi ketika mengomentari pendapat ibn Hazm “Pendapat Ibn Hazm yang mengatakan bahwa taklid itu haram (dan seterusnya)…itu hanya berlaku bagi orang yang mempunyai kemampuan ijtihad walaupun hanya dalam satu masalah.” (Hujatullah al-Baligah, juz I hal443-444)
Membebani awam al-Muslimin (masyarakat kebanyakan) dengan ijtihad sendiri-sendiri, jelas memberatkan dan mustahil. Karena minat setiap seseorang pada bidang-bidang ilmu pengetahuan itu berbeda-beda. Sedangkan yang menekuni ilmu agama tidak banyak. Bagi yang tidak sempat mempelajari ilmu agama, ia harus bertanya dan mengikuti orang-orang yang paham tetang masalah agama.
Al-Qur’an sudah mengatakan agar ada sekelompok orang yang menekuni ilmu agama, tidak perlu semuanya. Sehingga mereka dapat memberikan fatwa kepada yang lainnya. Allah SWT berfirman:
“Tidak seharusnya semua orang mukmin berangkat ke medan perang. Mengapa tidak berangkat satu rombongan dari tiap-tiap golongan untuk mempelajari dengan mendalam ilmu agama agar mereka dapat memberikan peringatan (pelajaran) kepada kaumnya apabila mereka sudah kembali. Mudah-mudahan mereka waspada. (QS al-Taubah, 122)
Sahabat Nabi adalah orang-orang terpilih. Meskipun begitu, kualitas keilmuan mereka tidak sama, dan tidak semua menjadi mujtahid. Sebagian mereka menjadi mufti, sebagian yang lain mengikuti apa yang difatwakan sahabat yang lain. Dan Rasulullah mengutus beberapa sahabat ke berbagai daerah untuk menyebarkan agama Islam serta menyelesaikan permasalahan yang terjadi, baik dalam ibadat dan mu’amalat, sosial kemasyarakatan, menjelaskan halal haram dan semacamnya. Lalu penduduk di daerah itu mengikuti apa yang difatwakan para sahabat tersebut.
Kaitannya dengan ittiba, sebagian orang ada yang membedakan dengan taqlid. Namun sebenarnya tidak ada perbedaan dalam kedua kata itu. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikh al Buthi ”Tidak ada perbedaan kalau perbuatan itu disebut dengan taqlid atau ittiba’. Sebab dua kata itu mempunyai arti yang sama. Dan tidak terbukti adnya perbedaan secara bahasa antara keduanya.” (Al-Lamazhabiyyah Akhtharu Bid’ah Tuhaddid al-Syari’ah al-Islamiyah,69)
Bahkan ittiba’ tidak selalu berarti baik. Tidak jarang di dalam al-Qur’an, ittiba’ ditujukan untuk sesuatu yang tidak terpuji, sebagaimana firman Allah ”Dan janganlah kamu mengikuti (ittiba’) langkah-langkah setan karena sesungguhnya dia merupakan musuh yang nyata bagi kalian.” (QS-al Baqarah, 168)
Hal tersebut berarti taqlid merupakan sunatullah (hukum alam) yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya atau diperjuangkan untuk dihapus. Namun demikian, bukan berarti umat Islam harus terperangkap pada taqlid buta, karena akan menggambarkan keterbelakangan serta rendahnya kualitas individu umat Islam. Itulah sebabnya ulama pesantren mencetak ulama yang mumpuni.
Talfiq
Dalam bertaqlid, umat Islam diberi kebebasan untuk memilih madzhab mana saja yang sesuai dengan hati nuraninya. Tapi kebebasan tersebut bukan tanpa kendali. Ada satu syarat, bahwa kebebasan ini jangan sampai terperangkap dalam talfiq. Karena mayoritas ulama tidak membenarkan adanya talfiq ini.
Secara bahasa, talfiq berarti melipat. Sedangkan yang dimaksud talfiq secara syar’i adalah mencampuradukkan pendapat seorang ulama dengan pendapat ulama yang lain, sehingga tidak seorang pun dari mereka membenarkan perbuatan yang dilakukan tersebut. Muhammad Amin al-Kurdi mengatakan “(Syarat kelima dari taqlid) adalah tidak talfiq, yaitu tidak mencampur antara dua pendapat dalam satu qadhiyah (masalah) baik sejak awal, pertengahan dan seterusnya, yanag nantinya, dari dua pendapat itu akan menimbulkan satu amaliyyah yang tidak pernah dikatakan orang yang berpendapat.” (Tanwir al-Qulub 397)
Jelasnya, talfiq adalah melakukan suatu perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua madzhab atau lebih. Contohnya sebagai berikut:
Seseorang berwudhu menurut madzhab Imam syafi’I dengan mengusap sebagian (kurang dari seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (bukan mahramnya), dan langsung shalat dengan mengikuti madzhab Imam Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudhu. Perbuatan ini disebut talfiq, karena menggabungkan pendapatnya Imam Syafi’i dan Imam Hanafi dalam masalah wudhu. Yang pada akhirnya, kedua imam tersebut sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu merupakan pendapatnya. Imam Syafi’i membatalkan wudhu seseorang yang menyentuh kulit lain jenis. Sementara Imam Abu Hanifah tidak mengesahkan wudhu seseorang yang hanya mengusap sebagian kepala.
Seseorang berwudhu dengan mengusap sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota wudhu karena mengikut madzhab Imam Syafi’i. Lalu ia menyentuh anjing, karena ikut madzhab Imam Malik yang mengatakan bahwa anjing adalah suci. Ketika dia shalat, maka kedua imam tersebut tentu sama-sama akan membatalkannya. Sebab, menurut Imam Malik wudhu itu harus dengan mengusap seluruh kepala dan juga dengan mengosok anggota wudhu. Wudhu ala Imam Syafi’i, menurut Imam Malik adalah tidak sah. Demikian juga, anjing menurut Imam Syafi’i termasuk najis mughallazhah (najis yang berat). Maka ketika menyentuh anjing lalu shalat, shalatnya tidak sah. Sebab kedua imam itu tidak menganggap sah shalat yang dilakukan itu
Talfiq semacam ini dilarang dalam agama. Sebagaimana yang disebut dalam kitab I’anah al-Thalibin “Talfiq dalam satu masalah itu dilarang, seperti ikut pada Imam Malik dalam sucinya anjing dan ikut kepada Imam Syafi’I dalam bolehnya mengusap kepala untuk mengerjakan satu shalat.” (I’anah al-Thalibin, Juz I, hal 17)
Sedangkan tujuan pelarangan adalah agar tidak terjadi tatabbu al-rukhash (mencari yang gampang-gampang), tidak memanjakan umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan. Sehingga tidak akan timbul tala’ub (main-main) dalam hukum agama.
Untuk menghindari adanya talfiq yang dilarang ini, maka diperlukan adanya suatu penetapan hukum dengan memilih salah satu madzhab dari madzahibul arba’ah yang relevan dengan kondisi Indonesia. Misalnya, dalam persoalan shalat (mulai dari syarat, rukun dan batalnya) ikut madzhab Syafi’i. untuk masalah sosial kemasyarakatan mengikuti madzhab Hanafi. Sebab, diakui atau tidak bahwa kondisi Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri. Tuntutan kemaslahatan yang ada berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain. Dengan begitu. Insya Allah hukum akan ditaati oleh pemeluknya. Tidak hanya tertera di atas tulisan semata.
Persoalan Bid’ah
Akhir-akhir ini, begitu gencar tudingan bid’ah pada seseorang atau kelompok tertentu. Yang satu menyatakan bahwa kelompok yang tidak sepaham dengannya melakukan bid’ah, sehingga mereka tersesat dan ‘berhak’ masuk neraka. Sementara yang lain juga menuding kelompok lain mengembangkan bid’ah. Saling tuding seperti inilah yang kemudian menyebabkan perpecahan dikalangan umat Islam.
Mernurut al-Imam Abu Muhammad ‘Izzudin in Abdisalam, “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak dikenal (terjadi) pada masa Rasulallah SAW.” (Qawa’id al Ahkam fi Mushalih al-Anam, Juz II, hal 172)
Sebagian besar ulama membagi Bid’ah menjadi lima bagian:
Bid’ah Wajibah, yakni bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan oleh syara seperti mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah dan lain-lain. Sebab, hanya dengan ilmu-ilmu inilah seseorang dapat memahami al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW secara sempurna.
Bid’ah Muharramah, yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’ seperti madzhab Jabariyyah dan Murji’ah.
Bid’ah Mandubah, yakni segala sesuatu yang baik, tapi tidak dilakukan pada masa Rasulullah SAW misalnya shalat tarawih secara berjamaah, mendirikan madrasah dan pesantren.
Bid’ah makruhah, seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan.
Bid’ah mubahah, seperti berjabat tangan setelah shalat dan makan makanan yang lezat. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al- Anam, juz I hal, 173)
Maka tidak heran jika sejak dahulu para ulama telah membagi bid’ah menjadi dua bagian besar. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafi’i RA yang dikutip dalam kitab Fath al-Bari, ”Sesungguhnya yang diada-adakan itu ada dua macam. (Pertama), sesuatu yang baru itu menyalahi al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, Atsar sahabat atau Ijma’ ulama. Ini disebut dengan bid’ah dhalal (sesat). Dan (kedua, jika)sesuatu yang baru tersebut termasuk kebajikan yang tidak menyalahi sedikitpun dari hal itu (al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma). Maka perbuatan tersebut tergolong perbuatan baru yang tidak dicela.” (Fath al-Bari, Juz xvII, hal.10)
Syaikh Nabil Husaini menjelaskan, ”Para ahli ilmu telah membahas persoalan ini kemudian membaginya menjadi dua bagian. Yakni bid’ah haanah dan bid’ah dhalalah. Yang dimaksud bid’ah hasanah adalah perbuatan yang sesuai dengan kitab Allah SWT dan Sunnah Rasulullah SAW. Keberadaan bid’ah hasanah ini masuk dalam bingkai sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, ”Siapa saja yang membuat sunnah yang baik (sunnah hasanah) dalam agama Islam, maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan tersebut serta pahala dari orang-orang yang mengamalkannya setelah itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka. Dan barang siapa yang merintis sunnah jelek (sunnah sayyi’ah), maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatan itu dan dosa orang-orang setelahnya yang meniru perbuatan tersebut, tanpa mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka”. Dan juga berdasarkan Hadits shahih yang mauquf, yakni ucapan Abdullah bin Mas’ud RA, ”Setiap sesuatu yang dianggap baik oleh semua muslim, maka perbuatan tersebut baik menurut Allah SWT, dan semua perkara yang dianggap buruk orang-orang Islam, maka menurut Allah SWT perbuatan itu juga buruk.” Hadits ini dishahihkan oleh Hafidh Ibn Hajar dalam al-Amali.” (al-Bid’ah al-Hasanah, wa Ashula min al-Kitab wa al-Sunnah, 28)
Dari sini dapat diketahui bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, yaitu:
Bid’ah hasanah,
Bid’ah yang tidak dilarang oleh agama karena mengandung unsur yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Masuk dalam kategori ini adalah bid’ah wajibah, mandubah, dan mubahah. Dalam konteks inilah perkataan Sayyidina ’Umar bin Khattab RA tentang jama’ah shalat tarawih yang beliau laksanakan, ”Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (yakni sahalat tarawih dengan berjamaah).” (Al-Muwaththa’ 231)
Contoh, bid’ah hasanah adalah khutbah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, membuka suatu acara dimulai dengan membaca basmalah di bawah seorang komando, memberi nama pengajian dengan istilah kuliah shubuh, pengajian ahad pagi atau titian senja, menambah bacaan subhanahu wa ta ’ala (yang diringkas dengan SWT) setiap ada kalimat Allah, dan shallahu ’alaihi wasalam yang diringkas dengan SAW) setiap ada kata Muhammad. Serta perbuatan lainnya yang belum pernah ada pada masa Rasulallah SAW, namun tidak bertentangan dengan inti ajaran Islam.
Bid’ah sayyi’ah (dhalallah)
Bid’ah yang mengandung unsur negatif dan dapat merusak ajaran dan norma agama Islam. Bid’ah muharramah dan makruhah dapat digolongkan pada bagian yang kedua ini. Inilah yang dimaksud oleh sabda Nabi Muhammad SAW, ”Dari A’isyah RA, ia berkata, ”Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, ”Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak”. (Shahih Muslim, 243)
Dengan adanya pembagian ini, dapat disimpulkan bahwa tidak semua bid’ah itu dilarang dalam agama. Sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikahawatirkan akan menghancurkan sendi-sendi agama Islam. Sedangkan amaliyah yang akan menambah syiar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang. Bahkan untuk saat ini, sudah waktunya umat Islam lebih kreatif untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan zaman yang makin kompleks, sehingga agama Islam akan selalu relevan di setiap waktu dan tempat (shalih li kulli zaman wa makan).
Hadits tentang Semua Bid’ah adalah Sesat
Untuk memahami al-Quran ataupun hadits, tidak bisa hanya dilihat secara parsial atau hanya melihat arti lahiriah sebuah teks. Ada banyak hal yang harus diperhatikan ketika membaca serta menafsirkan al-Qur’an atau al-Hadits. Misalnya kondisi masyarakat ketika ayat tersebut diturunkan. Termasuk pula meneliti teks tersebut dari aspek kebahasaannya, yakni dengan perangkat Ilmu Nahwu, Sharaf, Balagah, Mantiq , dan sebagainya.
Hadits yang sering dijadikan dasar pelarangan semua bid’ah itu adalah “Dari Abdulah bin Mas’ud, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, ”Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal yang baru (yang bertentangan dengan syara’). Karena perbuatan yang paling jelek adalah membuat-buat hal baru dalam masalah agama. Dan setiap perbuatan yang baru dibuat itu adalah bid’ah. Dan sesungguhnya semua bid’ah itu adalah sesat. (…………….wa kullu mukhdatsati bid’atun wa kullu bid’atin thalalatun).” (Sunan Ibn Majah 45)
Dalam hal ini, Nabi SAW menggunakan kata kullu, yang secara tekstual diartikan seluruh atau semua. Sebenarnya, kata kullu tidak selamanya berarti keseluruhan atau semua. Namun, adakalanya berarti sebagian, seperti firman Allah SWT, ”Dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup itu dari air. (wa ja’alnaa minal maai kulla syay in haiyyin).” (Qs. Al-Anbiya, 30)
Walaupun ayat ini mengunakan kata kullu, namun tidak berarti semua benda yang ada di dunia ini diciptakan dari air. Buktinya adalah fiman Allah SWT, ”Dan Allah SWT menciptakan jin dari percikan api yang menyala.” (Qs. Al-Rahman, 15)
Contoh lain adalah firman Allah SWT :
“Karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap perahu. (wa kaa na wa raa a hum malikun ya’ khudu kulla safiinatin ghosban)” (Qs. Al-Kahfi,79)
Ayat ini menjelaskan bahwa di hadapan Nabi Musa AS dan Nabi Khidir AS ada seorang raja lalim yang suka merampas perahu yang bagus. Sedangkan perahu yang jelek tidak diambil. Buktinya perahu yang ditumpangi kedua hamba pilihan itu dirusak oleh Nabi Khidir AS supaya tidak diambil oleh raja yang lalim tersebut. Kalau semua perahu dirampas, tentu Nabi Khidir AS tidak akan merusak bagian tertentu dari perahu yang mereka tumpangi. Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak semua perahu dirampas oleh raja tersebut. Juga menjadi petunjuk bahwa kullu pada ayat itu tidak dapat diartikan keseluruhan, tetapi berarti sebagian saja, yakni perahu-perahu yang bagus saja yang dirampas.
Maka demikian pula dengan hadits tentang bid’ah itu. Walaupun menggunakan kata kullu, bukan berarti seluruh bid’ah dilarang. Karena yang terlarang adalah sebagian bid’ah saja, tidak semuanya. Ini bisa dibuktikan, karena ternyata para sahabat juga banyak melaksanakan perbuatan serta membuat kebijakan yang tidak pernah ada pada waktu Rasulullah SAW masih hidup. Misalnya usaha untuk membukukan al-Qur’an, menambah jumlah adzan menjadi dua kali pada hari Jum’at, shalat tarawih secara berjamaah, dan masih banyak lagi hasil ijtihad para sahabat yang ternyata tidak pernah ada pada masa Rasulullah SAW.
Nah, kalu kullu pada hadits itu diartikan keseluruhan, yang berarti semua bid’ah dilarang, berarti para sahabat telah melakukan dosa secara kolektif (bersama). Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, mengerjakan yang diperintah dan manjauhi segala larangan Allah SWT dan RasulNya. Bahkan diantara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Maka tidak mungkin kalau para sahabat Nabi SAW tidak mengetahui, apalagi tidak mengindahkan larangan dalam hadits itu.
Ini sebagai bukti nyata bahwa kata kullu yang ada pada hadits itu berarti sebagian, bukan keseluruhan. Karena itu tidak semua bid’ah dilarang. Yang dilarang adalah bid’ah yang secara nyata akan merusak ajaran agama Islam.
D. CIRI-CIRI TASAWUF ASWAJA
Seorang hamba diharuskan pula untuk mempraktikkan adab (etika dan sopan santun) yang sesuai dengan sikap penghambaannya di hadapan Tuhannya. Etika itu merupakan akhlak yang dipraktikkan Rasulullah SAW kepada Allah SWT dan kepada sesama mahluk. Aspek ini disebut dengan Ihsan. Penelitian terhadap dimensi Ihsan inilah yang akhirnya melahirkan ilmu tashawwuf atau ilmu akhlaq.
Tasawuf atau sufisme ini menjunjung nilai-nilai kerohanian dan adab sebagai ruh dalam ibadah. Orang yang mempelajari tasawuf disebut sebagai sufí.
Dalam hal tasawuf, Paham Ahlussunnah WalJamaah mengikuti tasawuf yang diajarkan oleh Imam Junaid, Imam Ghazali, dan Imam Qusyairi, terutama Imam Ghazali. Pada intinya, konsep tasawuf yang dihadirkan para sufí sunni ini berusaha menyampaikan bahwa ilmu tidak akan dinamakan tasawuf apabila ia tidak dibingkai dalam ajaran syariat islam.
Tasawuf ini seringkali diartikan sebagai ilmu mengenai tahapan-tahapan menuju puncak pengenalan diri terhadap Allah SWT. Tahapan-tahapan itu terbagi dalam bagian Thariqoh, Hakikat, dan Ma’rifat. Tasawuf sendiri merupakan ajaran akhlaq yang didasarkan pada akhlaqnya Nabi Muhammad SAW. Diantara sikap batin yang menonjol dibahas dalam tasawuf diantaranya mengenai sikap ikhlas, istiqomah, zuhud dan Wara’.
Thariqoh sebagai jalan awal menuju Ma’rifatu Allah yang merupakan bagian dari ilmu tasawuf telah diajarkan Nabi Muhammad SAW melalui sahabatnya seperti Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. dan Sayyidina Abu Bakar Ash-shiddiq. Diantara thoriqoh mu’tabaroh (sah) dan musalsal (bersilsilah ilmu hingga ke Nabi Muhammad) diantaranya Thoriqoh Qadiriyah yang didirikan Syekh Abdul Qodir Al-Jailaniy, Thoriqoh Syadziliyah yang didirikan Syekh Abul Hasan Ali Assadzili, thoriqoh Naqsabandiyah yang didirikan Syekh Muhammad Bahaudin An-Naqsabandiy, dan thoriqoh Tijaniyah yang didirikan Syekh At-Tijaniy. Menurut Habib Luthfi bin Yahya, Mursyid Thariqoh di Indonesia, Thoriqoh yang mu’tabaroh di Indonesia tercatat sekitar 48 macam.
Mengenai hakikat, telah dijelaskan oleh Imam Al-Qusyairi bahwa hakikat ialah penyaksian atas rahasia ke-Tuhan-an, semua bentuk ibadah atau syariat tidak akan mengena jika tidak mengenal intinya (hakikat). Syariat untuk mengetahui kewajiban suatu perintah dan larangan bermaksiat sementara hakikat untuk mengetahui makna inti, keputusan Allah, dan rahasia yang ada di dalamnya.
Kondisi saat berkembangnya Ilmu Tasawuf yang mulai dituliskan dan dimulai sekitar abad ke-3 H yang memperkenalkan konsep Ittihad (penyatuan), Hulul (leburnya substansi manusia ke dalam substansi Ilahi), dan Wahdatul Wujud (penyatuan wujud), serta Wahdatul Muthalaqah (penyatuan mutlak), dalam pengertian ma’rifat itu ditolak oleh Imam Abul Hasan Al-Asy’ari karena dianggap tidak sesuai. Sikap Imam Asy’ari itu didukung dan berusaha diluruskan oleh para tokoh tasawuf sunni, diantaranya Imam Ghazali, dan Imam Qusyairi. Menurut mereka, tasawuf merupakan upaya sungguh-sungguh dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin, melalui sikap zuhud (sikap menjauhi cinta dunia), ketekunan ibadah (al-Nusuk) dan latihan rohani (al-riyadhoh al-nafs), meskipun harus diakui bahwa ada dua alam yakni alam dhohir yang dicapai melalui panca indera dan alam batin yang dicapai dengan sarana emanasi (pancaran rohani) dan ilham, tetapi hal itu bukanlah melalui proses ittihad, hulul, atau wahdatul wujud, melainkan melalui proses mukasyafah dan musyahadah (terbukanya tirai- hijab ghoib dan terbukanya kemampuan untuk melihat keagungan Ilahiyah) yakni suatu jenis pengetahuan perasaan tertentu yang dimiliki orang-orang yang sudah mampu melepaskan dirinya dari pengaruh duniawi atau godaan materi dan mampu berperilaku yang mencitrakan sifat-sifat terpuji. (Ma’rifat Dzauqiyah).
Meskipun konsep pemikiran para sufí falsafi seperti Dzun Nun Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami, Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, dan Ibnu Sab’in bahkan salah satu Sufi paling kontroversial, Husain bin Mansur Al-Hallaj (yang memperkenalkan istilah Ittihad, Wahdatul wujud, dsb) ditolak oleh kaum ASWAJA, namun pada bagian tertentu, seperti ilmu riyadhoh, hikmah, dan amaliyah yang diajarkan dan dilakukan oleh para sufí falsafi tersebut tetap dipelajari dan dilakukan oleh kaum ASWAJA dalam rangka menambah nilai-nilai tasawuf dalam bingkai nilai-nilai syariat islam.
Sumber Bacaan:
Fiqh Tradisional – Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari.
Ahlussunnah wal Jamaah dalam persepsi dan tradisi NU