Rabu, Juli 02, 2008

Pand. Abil Hasan as-Syadzily Terhadap Dalil Wujudnya Allah SWT

Ketahuilah bahwa “Wujud Allah” hanyalah persoalan badihi (yang tidak perlu pemikiran) …, maka sepatutnya persoalan ini jangan dibicarakan apalagi bagi orang yang beriman, tolaklah persoalan isbat itu secara baik maupun secara kasar.
Persoalan “Wujud Allah” adalah persoalan yang dapat diterima dengan baik, tapi tidak dapat diletakkan di tengah para ahli agama demi dibahas, karena ia merupakan fitriyah (naluriah).
Setiap orang yang berupaya meletakkan “Wujud Allah” di atas meja pembahasan, tak lain bahwa orang itu dalam imannya kemasukan unsur buruk, dan dalam agamanya terdapat penyimpangan.
Allah sekali-kali tidak bersembunyi hingga membutuhkan untuk ditetapkan oleh manusia ditentang wujudNya, Maha Tinggi Allah dari sangkaan yang demikian dengan ketinggian yang Maha Agung.
Agama Islam tidaklah datang dengan mengisbatkan wujudNya, tapi kedatangannya membawa tauhid (mengesakan Allah yang Maha Tunggal).
Kalau anda meneliti isi al-Qur’an atau membolak-balik at-Taurat dalam bentuk yang sekarang ini atau al-Injil sekalipun, maka takkan anda jumpai sebaris permasalahan tentang wujud Allah. Engkau tidak akan menjumpai masalah wujud Allah itu suatu perantauan yang kedudukannya menjadi tujuan dari antara tujuan-tujuan yang bersifat agamawi atau yang menjadi sasaran, atau yang menguasai tempat bahwa itu adalah maksud yang dikandung dalam risalah samawiyah.
Al-Qur’an al-Karim menuturkan dengan jelas tentang wujud Allah, meskipun di sisi para ahli aqidah dianggap sesat dan kurang mencapai sasarannya, Allah berfirman :
“Dan jika engkau ajukan pertanyaan pada mereka “Siapa yang menciptakan langit dan bumi?” tentu mereka menjawab “ALLAH”. … (Az-Zumar 38)
Mereka mengatakan bahwa yang Maha Pencipta itu adalah Allah, para musrikpun demikian pula jawabannya, atau mereka yang menyimpang dari kebenaran sekalipun. Mereka semua searah dalam keimanan kepada Allah SWT. Dan sekali-kali tidaklah agama-agama itu telah turun untuk menetapkan wujud Allah, dan hanyalah turun demi memperbaiki i’tiqad-kepercayaan kepada Allah SWT. Atau pun untuk membenarkan lorong ‘Tauhid” (meng-Esakan Allah).
Adapun ayat-ayat itu yang banyak bilangannya, orang-orang menduga kalau ayat-ayat yang diturunkan itu untuk mengisbatkan wujud, hal yang demikian tidak dapat dibenarkan sama sekali.
Ayat-ayat itu memberi keterangan tentang ‘Azhomah (kebesaran) Allah, JalalNya (KeagunganNya), Kibriya’Nya (Maha kebesaranNya, HaimanahNya (Perhatian & PenjagaanNya) yang dalam kesempurnaanNya atas alam semesta. Baik yang besar maupun yang (kecil) renik, tak satu pun yang luput dari HimahNya dan tiada yang keluar dari SulthonNya (KekuasaanNya) apa yang lembut maupun yang besar.
Ayat-ayat Al-Qur’an telah datang dengan bentuk yang sekarang ini yang hendak menuntut insan kepada penyerahan wajahnya demi untuk Allah. Penyerahan yang bersifat ke-Islaman yang sempurna di mana insan tidak menerima maupun menolak, melainkan dengan namaNya juga yang Maha Suci. Tiada sesuatu yang mendatangi maupun yang meninggalkan kecuali di dalam lorongNya jua.
Falsafah Yunani adalah falsafah keberhalaan, hasil dari perolehan akal dan bukannya dari wahyu samawi, dan segala yang bukan dari wahyu yang berada di balik alam tabi’ah (alam dunia ini) adalah alam aqidah (kepercayaan) dan di dalam alam itulah bersarangnya pemikiran keberhalaan, itulah buah pemikiran yang tidak dapat dibenarkan dalam wujud ini, karena alam aqidah, alam kepercayaan itu khusus diperuntukkan bagi Allah yang olehnya telah diterangkan melalui lisan para RosulNya.
Setiap ikut campurnya insan di alam dunia ini adalah suatu hal yang tidak dapat dibenarkan dan itu merupakan pelanggaran masuk dalam lapangan yang diharamkan dan disucikan; Dapat dimasuki hanya dengan cara bersujud dengan khusyu’ dan khudu’ (tunduk merendah) al-musallim (penuh penyerahan diri) terhadap yang dibawa oleh wahyu ilahy.
Buah Falsafah Yunani yang berkaitan dengan aqidah adalah merupakan suatu hasil falsafah keberhalaan, dengan dalih apapun tetap merupakan hasil pemikiran keberhalaan meskipun falsafah itu menetapkan wujud Allah, tetpi landasan mabda’ (pendirian)-nya adalah mempertuhankan akal, maka tidaklah ada bedanya bagi menetapkan maupun mengingkari wujud Allah.
Falsafah Yunani ketika menghasikan buah pemikiran yang menetapkan wujud Allah secara aqli, buah pemikiran tersebut tidak membawa faedah dan guna, dan tiada nilai bagi yang diisbatkan. Baik penetapan adanya maupun ketiadaan (adam) wujudNya adalah sama, karena yang mengisbatkan adalah akal, maka tidak mustahil kalau akal itu pula mengingkari wujudNya.
Jika Anda sudah merenungkan pendapat Abul Hasan di atas, maka tidak seharusnya bertepuk dan bersorak terhadap apa yang selama ini dianggap keunggulan berfikir baik di timur maupun di barat yang sudah berpayah-payah dengan upayanya yang mengisbatkan wujud Allah.
Kami tidak hendak berteguh pada aqidah hasil pemikiran manusia walau magaimanapun keunggulan dan kecemerlangannya. Diwajibkan pada setiap muslim jangan hendaknya memberi penghargaan dan penilaian dengan penilaian apapun terhadap keberhasilan pemikiran dalam pengetahuan di balik alam semesta yang nyata ini, yaitu alam qaib yang tiada fikiran maupun mengurai.
Sama saja halnya penyimpangan atau penetapan, pertentangan atau persesuaian. Bagi seorang mukmin dalam kepercayaannya beragama semata-mata demi untuk Allah sendiri, dan cukuplah dengan Allah yang membuat I’tiqad, cukup dengan Allah sebagai penganugrahan petunjuk, dan cukup dengan Allah sebagai pembimbing kebenaran yang hakiki.
Barang siapa yang teguh berpegang kepada Allah, niscaya dicukupkan olehNya :
“Dan barangsiapa yang teguh berpegang kepada Allah ditunjuki jalan yang lurus”. (Al-Imran 101)
Kepada umat Yunani dapat diterima alasan sebagai uzur, karena di negerinya tidak terdapat agama yang diturunkan dari langit yang dapat dijadikan wadah guna memperoleh petunjuk dan bimbingan. Hal yang demikian tiada berbeda dengan masa jahiliyah di semenanjung jazirah Arab, yang mana mereka melindungkan dirinya pada falsafah yunani, pada akal budinya, dan akal budi itu pula yang menetapkan dan yang mengingkari, dengan demikian sesatlah ia dan menyesatkan.
Maka kemudian datanglah agama Nasrani untuk membenarkan apa yang digariskan oleh falsafah, lalu mereka berupaya untuk memisahkan pemikiran ketuhanan dengan keberhalaan yang mencemarkan, maka berhentilah pembahasaan tentang wujud Allah dan arah angina meniup ke agama Nasrani bagaikan kuman jahat yang merayap untuk menghancurkan tubuh kebenaran hingga binasa.
Kemudian datanglah agama Allah Islam untuk membersihkan aqidah dengan mensucikan iman secara sempurna serta memperkenalkan nama Islam untuk memaklumkan perang terhadap campur tangan manuasia dalam agama Allah yang di bawa oleh RosulNya.
Islam tak lain adalah penyerahan diri secara mutlak demi untuk Allah SWT. Suasana penyerahan yang demikian berlangsung secara terus menerus bersama Allah hingga memperoleh ridhoNya.
Suasana dan keadaan demikian berlangsung terus bersama Allah atas yang disukai olehNya. Itulah al-Islam, itulah agama yang tiada agama selainnya, Allah dalam hal ini berfirman dengan ketegasan yang memutuskan :
“Sungguh, agama disisi Allah ialah Islam”
Menyusul firman Allah memberi keputusan bagi siapa yang masih ragu :
“Dan barang siapa mencari yang selain Islam sebagai agama, tiadalah itu akan diterima daripadaNya”.
Jika seseorang tidak mau menyerahkan dirinya kepada Allah menurut ketentuan wahyu dengan penyerahan mutlak, maka terangkah ia menghendaki – baik sedikin maupun banyak – suatu penyimpangan kepada selain Islam sebagai agama yang dianutnya.
__________________________________________________
DR. Abdul Halim Mahmoud, “Abul Hasan Asy-Syadzily Kehidupan Do’a & Hizib-hizibnya (Bersambung…)

Al-Mafakhir al-'Aliyah