Selasa, Februari 24, 2009

Mursyid Dalam Tareqat


Allah Swt. berfirman:“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).

Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual.

Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual.
Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. 
Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.
Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka.
Tetapi dalam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual.

Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid.

Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.

Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid.

Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.

Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya.

Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul.

Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal:
“Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.

Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid.
Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.

Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian.

Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:

“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:
1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.

Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:
1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.

Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:
1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.

”Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.

Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.

Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:
1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah. Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.

Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah: 
1) Himmah yang tinggi, 
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan 
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.

Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idis Shufiyah”.& gt; anda juga bisa baca artikel ini di 
http://saziliyahtareqat.blogspot.com/

Selasa, Februari 17, 2009

Al-Habib Abdullah al-Haddad


Al-Quthbu Al-Qouts Al-Imam As-Sayyid Al-Habib
Abdullah bin Alwy Ba'Alwi Al-Haddad


_________________________________________________________________




  • Mukadimah.
  • Sekilas Biografi Al-Imam Abdullah Al-Hadad (Shohibur Ratib).
  • Pokok Utama Perhatian Kaum ‘Arifin dan Kaum Ghafilin.
  • Kelalaian Manusia akan Hakikat Keimanan sebagai Hikmah llahiyyah
  • Zaman Kebaikan (Perbaikan) dan Zaman Keburukan (Perusakan)
  • Di Antara Penyakit Hati: Keangkuhan dan Kelengahan.
  • Melalaikan Perbaikan Diri Sendiri demi Menyenangkan Hati Orang.
  • Empat Kategori Orang Saleh dan Empat Kategori Kebalikannya
  • Ragam Cara Manusia Menikmati Kehidupan Dunia.
  • Orang Miskin yang Sabar dan yang Selalu Gelisah dan Menggerutu.
  • Pandangan Orang Dungu terhadap Rohah yang Sempurna.
  • Ihwal Manusia yang Bertakwa dan yang Bergelimang Dosa.
  • Keutamaan lhsan dalam Amal Ibadah.
  • lhsan dalam Melakukan Kebaikan dan Meninggalkan Keburukan.
  • Menyibukkan dengan llmu-llmu yang Bermanfaat.
  • Neraca untuk Mengetahui llmu-ilmu yang Bermanfaat.
  • llmu yang Paling Bermanfaat dan Buah Memperbanyak Renungan kepada-Nya.
  • Melepaskan Kebimbangan dalam Memilih Jalan (Thariqah).
  • Larangan Memusuhi "Jalan" Lain yang Berseberangan.
  • Berbagai Kelompok dalam Memilih Jalan (thariqah). 
Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil’alaamin
Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] 

1. Mukadimah
Mahasuci Engkau ya Allah, tiada kami mampu mencakup bilangan puji-pujian untuk-Mu sebagaimana Engkau memuji diri-Mu. Mahasuci Engkau, tiada kami memiliki pengetahuan kecuali yang Kau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya, Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Segala puji bagi Allah Yang paling Pengasih dari semua pengasih; Yang paling Bijaksana dari semua yang bijak; Yang paling sempuma ciptaan-Nya dari semua pencipta; Pemberi rezeki paling utama di atas semua pemberi; Yang ilmu-Nya meliputi segalanya; Yang perhitungan-Nya paling mencakup apa saja.
Tidakkah Dia mengetahui rahasia siapa yang Dia ciptakan? Sungguh, Dia Maha Meliputi lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Mulk [67]:14)
Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan; Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dialah Yang Awal dan Yang Akhir; Yang Zahir dan Yang Batin dan Dia tahu segala sesuatu. (QS Al-Hadid [57]: 2 dan 3)
Singgasana-Nya meliputi langit dan bumi; dan Dia tiada merasa letih memelihara keduanya, karena Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar. (QS Al-Baqarah [2]: 255)
Aku menujukan puji-pujian kepada-Nya atas segala yang diajarkan dan diilhamkan-Nya, atas taufik-Nya yang membuat kita mampu berbicara dan memahami, dan atas segala rahmat dan karunia-Nya.
Rahmat apa pun yang dikaruniakan Allah kepada manusia, tiada yang dapat menahannya, dan apa pun yang ditahan-Nya, tiadayang dapat melepaskannya sesudah itu. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (QS Fathir [35]:2)
Shalawat dan salam bagi Sayyidina dan Maulana Muhammad SAW yang telah diutus Allah untuk membawakan rahmat bagi seluruh alam semesta, yang dengannya Dia mengakhiri rangkaian para nabi serta menjadikannya penghulu segenap Rasul; demikian pula bagi keluarga dan sahabat beliau serta para tabi'in yang mengikuti mereka dengan ihsan sampai hari kiamat.
Ammaâ Ba'du.
Dalam halaman-halaman ini, kami catatkan "beberapa bab ilmu dan pokok hikmah" yang adakalanya melintas dalam pikiran ketika menyampaikan syarahan, pengajian, hasil renungan dan pelajaran, yang sering kali dibutuhkan dan menjadi andalan setiap ’alim yang tulus beribadah atau murid yang ber-suluk di jalan hikmah.
Kami tidak menyusunnya sebagaimana lazimnya buku-buku yang tersusun rapi, dalam memerhatikan sistematika dan kesinambungan pasal-pasalnya atau menjadikan pasal yang satu sebagai mukadimah bagi pasal sesudahnya dan penyempurna bag yang sebelumnya. Hal ini disebabkan, seperti yang telah kami sebutkan, pasal-pasal ini berupa pikiran-pikiran yang melintas dan muncul di sela-sela penyampaian pengajian dan wejangan dalam berbagai kesempatan yang berlainan yang kadang-kadang masanya agak berjauhan antara satu dan lainnya. Itulah sebabnya, Anda akan melihat bahwa setiap pasal seakan-akan berdiri sendiri, tak ada kaitannya yang nyata antara yang sebelum dan sesudahnya. Demikianlah bagian terbesar darinya; dan jika ada pengecualian, hal itu karena keadaan yang khusus. Pasal-pasal ini mencakup persoalan-persoalan yang komprehensif dan hikmah-hikrnah dalam garis besamya sehingga seorang ilmuwan (dalam bidang agama), apabila ingin, dengan mudah dapat memperluas dan menukik ke kedalaman tiap pasalnya menjadi bukti tersendiri dengan membagi-bagi dan memerinci detail-detailnya. Tentunya hal ini dengan mudah dapat dicapai oleh orang-orang yang berilmu dan terbuka mata-hatinya, yang arif dan berjiwa cerah lag sadar, serta dikaruniai hikmah.
Barang siapa diberi-Nya hikmat, sungguh kepadanya telah diberikan kebaikan melimpah. Namun, tiada yang mengambil peringatan kecuali yang tergolong ulul-albab. (QS Al-Baqarah [2]: 269)
Tadinya ketika mulai mencatat pasal-pasal ini, kami bermaksud tidak menerbitkannya sebelum mencapai empat puluh pasal. Namun, waktu terus berjalan dan jumlah tersebut belum juga tercapai. Kemudian, beberapa kawan yang tulus, yang mendengar karya kami ini, meminta agar diizinkan membuat turunannya serta mempelajarinya. Keinginan itu telah menggerakkan hati kami untuk menyempurnakannya dengan harapan dapat bermanfaat bag semua pihak, dan dengan menyadari bahwa setiap amal bergantung pada niat yang menyertainya, dan bahwa bagi setiap orang pahala sesuai dengan niatnya itu.
Pada waktu itu, seluruh pasalnya baru berjumlah dua puluh. Oleh sebab itu, akan kami tambah dengan yang sesuai dengannya dan yang termasuk dalam lingkungannya, insya Allah.
Kini, tibalah saatnya untuk memulai dengan mengharapkan pertolongan Allah; sesungguhnya tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan perkenan Allah Swt. Dan cukuplah Allah bagi kita. Dialah sebaik-baik penolong; tiada taufik kecuali yang dikaruniakan Allah SWT. Kepada-Nyalah aku bertawakal dan kepada-Nyalah aku kembali. 
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ‘alaamin
Allaahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.
Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra]

2. Sekilas Biografi Al-Imam Abdullah Al-Hadad (Shohibur Ratib)
Imam Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Hadad, lahir hari Rabu, Malam Kamis tanggal 5 Bulan Syafar 1044 H di Desa Sabir di Kota Tarim, wilayah Hadhramaut, Negeri Yaman.

Nasab
Beliau adalah seorang Imam Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Hadad bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwy bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Thawil bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Al-Faqih bin Abdurrahman bin Alwy bin Muhammad Sha´hib Mirbath bin Ali Khôliâ Qosam bin Alwi bin Muhammad Sha´hib Shoumaâh bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-MuhÃjir Ilallôh Ahmad bin Isa bin Muhammad An-Naqab bin Ali Al-Uraidhi bin Imam Jakfar Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam As-Sibth Al-Husein bin Al-Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib suami Az-Zahra Fathimah Al-Batul binti Rasulullah Muhammad SAW.

Orangtuanya
Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad, Ayah Syaikh Abdullah Al-Haddad dikenal sebagai seorang yang saleh. Lahir dan tumbuh di kota Tarim, Sayyid Alwy, sejak kecil berada di bawah asuhan ibunya Syarifah Salwa, yang dikenal sebagai wanita ahli maârifah dan wilayah. Bahkan Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad sendiri banyak meriwayatkan kekeramatannya. Kakek Al-Haddad dari sisi ibunya ialah Syaikh Umar bin Ahmad Al-Manfar Ba Alawy yang termasuk ulama yang mencapai derajat maârifah sempurna. Suatu hari Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad mendatangi rumah Al-Arif Billah Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Habsy, pada waktu itu ia belum berkeluarga, lalu ia meminta Syaikh Ahmad Al-Habsy mendoakannya, lalu Syaikh Ahmad berkata kepadanya, Anakmu adalah anakku, di antara mereka ada keberkahan. Kemudian ia menikah dengan cucu Syaikh Ahmad Al-Habsy, Salma binti Idrus bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Al-Habib Idrus adalah saudara dari Al-Habib Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Yang mana Al-Habib Husein ini adalah kakek dari Al-Arifbillah Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy (Muâalif Simtud Durror). Maka lahirlah dari pernikahan itu Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad. Ketika Syaikh Al-Hadad lahir ayahnya berujar, Aku sebelumnya tidak mengerti makna tersirat yang ducapkan Syaikh Ahmad Al-Habsy terdahulu, setelah lahirnya Abdullah, aku baru mengerti, aku melihat pada dirinya tanda-tanda sinar Al-wilayah (kewalian).

Masa Kecil
Dari semenjak kecil begitu banyak perhatian yang beliau dapatkan dari Allah. Allah menjaga pandangan beliau dari segala apa yang diharamkan. Penglihatan lahiriah Beliau diambil oleh Allah dan diganti oleh penglihatan batin yang jauh yang lebih kuat dan berharga. Yang mana hal itu merupakan salah satu pendorong beliau lebih giat dan tekun dalam mencari cahaya Allah menuntut ilmu agama. Pada umur 4 tahun beliau terkena penyakit cacar sehingga menyebabkannya buta. Cacat yang beliau derita telah membawa hikmah, beliau tidak bermain sebagaimana anak kecil sebayanya, beliau habiskan waktunya dengan menghapal Al-Quran, mujahaddah al-nafs (beribadah dengan tekun melawan hawa nafsu) dan mencari ilmu. Sungguh sangat mengherankan seakan-akan anak kecil ini tahu bahwa ia tidak dilahirkan untuk yang lain, tetapi untuk mengabdi kepada Allah SWT.
Guru-gurunya
Hampir seluruh waktunya, beliau gunakan untuk bersimpuh di kaki para ulama besar pada masa itu. Beberapa diantara guru besar beliau adalah : 
  • Al-Quthb Anfas Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-Aththas bin Aqil bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman Asseqaff,
  • Al-Allamah Al-Habib Aqil bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Aqil bin Syaikh Ahmad bin Abu Bakar bin Syaikh bin Abdurrahman Asseqaff,
  • Al-Allamah Al-Habib Abdurrahman bin Syekh Maula Aidid Baâlawy,
  • Al-Allamah Al-Habib Sahl bin Ahmad Bahasan Al-Hudaily BaâAlawy
  • Al-Mukarramah Al-Habib Muhammad bin Alwy bin Abu Bakar bin Ahmad bin Abu Bakar bin Abdurrahman Asseqaff
  • Syaikh Al-Habib Abu Bakar bin Imam Abdurrahman bin Ali bin Abu Bakar bin Syaikh Abdurrahman Asseqaff
  • Sayyid Syaikhan bin Imam Husein bin Syaikh Abu Bakar bin Salim
  • Al-Habib Syihabuddin Ahmad bin Syaikh Nashir bin Ahmad bin Syaikh Abu Bakar bin Salim
  • Sayyidi Syaikh Al-Habib Jamaluddin Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Syaikh Al-Arif Billah Ahmad bin Quthbil Aqthab Husein bin Syaikh Al-Quthb Al-Rabbani Abu Bakar bin Abdullah Al-Idrus
  • Syaikh Al-Faqih Al-Sufi Abdullah bin Ahmad Ba Alawy Al-Asqo
  • Sayyidi Syaikh Al-Imam Ahmad bin Muhammad Al-Qusyasyi
Para guru Al-Habib Al-Haddad sebenarnya sangat banyak, para guru yang tertera di atas itu menurut syarah bait-bait diwan Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagaimana yang termaktub dalam Kitab Syarah Al-˜Ainiyyat.
Sanad keilmuan beliau.ra banyak, diantaranya sebagai berikut :
  • Sayyidil Al-Habib Imam Al-Quthb Quthb Daâwatul Irsyad Abdullah bin Alwy Al-Hadad, dari gurunya;
  • Sayyidil Al-Habib Imam Muhammad bin Aqil bin Ahmad bin Syihab, dari ayahnya;
  • Sayyidil Al-Habib Imam Aqil bin Amad bin Syihab, dari ayahnya;
  • Sayyidil Al-Habib Imam Ahmad Syihabuddin, dari gurunya;
  • Sayyidil Al-Habib Imam Abdurrahman, dari gurunya;
  • Sayyidil Al-Habib Imam Ahmad, dari gurunya;
  • Sayyidil Al-Habib Imam Al-Quthb Ali bin Abu Bakar Sakran, dari gurunya;
  • Sayyidil Al-Habib Imam Al-Quthb Aqthab wal Ghauts Abdullah bin Abu Bakar Al-Idrus, dari gurunya;
  • Sayyidil Al-Habib Imam Al-Quthb Aqthab wal Ghauts Abdurrahman bin Muhammad As-Seqaf, dari ayahnya;
  • Sayyidil Al-Habib Imam Al-Quthb Aqthab Muhammad Mauladdawilleh, dari ayahnya;
  • Sayyidil Al-Habib Imam Al-Quthb Ali bin Alwy Maula Darak, dari ayahnya;
  • Sayyidil Al-Habib Imam Al-Quthb Aqthab wal Ghauts Alwy Al-Ghayur, dari ayahnya;
  • Sayidina Ustadz Al-‘Azhom Sulthanul Auliya wal Ulama wal Arifin Al-Quthbil Aqthab wal Quthbil Ghauts Jamiâ Al-Faqih Al-Muqaddam Al-Imam Muhammad bin Ali Baâ Alawy Al-Huseini Al-Hasani Alawiyyin Al-Fathimiy Al-Muhammadiy Al-Hasyimy ash-Shiddiq, dari ayahnya;
  • Sayidina Al-Imam Ali, dari ayahnya;
  • Sayidina al-Imam Muhammad shahib Marbath, dari ayahnya;
  • Sayidina al-Imam Ali Kholiâ Qosam, dari ayahnya;
  • Sayidina al-Imam Alwy, dari ayahnya;
  • Sayidina al-Imam Muhammad, dari ayahnya;
  • Sayidina al-Imam Alwy Baâ Alawy, dari ayahnya;
  • Sayidina al-Imam Ubaidillah, dari ayahnya;
  • Sayidina al-Imam Ahmad Al-Muhajir, dari ayahnya;
  • Sayidina al-Imam Isa an-Naqib, dari ayahnya;
  • Sayidina al-Imam Muhammad an-Naqib, dari ayahnya;
  • Sayidina al-Imam Ali al-Uraidhi, dari ayahnya;
  • Sayidina Sulthanul ˜Auliya wal ‘Ulama al-Imam Jaâar Shadiq, dari ayahnya;
  • Sayidina al-Imam Muhammad Al-Baqir, dari ayahnya;
  • Sayidina al-Imam Ali Zainal Abiddin, dari ayahnya;
  • Sayidina al-Imam Husein As-Sibth, dari ayahnya;
  • Sayidina Amirul Mu’minin al-Imam Ali bin Abi Thalib ibin Sayidatuna Fathimah Az-Zahrah al-Batul, dari ayahnya;
  • Sayidina Mursalin wal Khatamin Nabiyyin al-Musthafa Muhammad SAW.
Da'wahnya
Berkat ketekunan dan akhlakul karimah yang beliau miliki pada saat usia yang sangat dini, beliau dinobatkan oleh Allah dan guru-guru beliau sebagai daâi, yang menjadikan nama beliau harum di seluruh penjuru wilayah Hadhramaut dan mengundang datangnya para murid yang berminat besar dalam mencari ilmu. Mereka ini tidak datang hanya dari Hadhramaut tetapi juga datang dari luar Hadhramaut. Mereka datang dengan tujuan menimba ilmu, mendengar nasihat dan wejangan serta tabarukan (mencari berkah), memohon doa dari Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Di antara murid-murid senior Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah putranya, Al-Habib Hasan bin Abdullah bin Alwy Al-Haddad, Al-Habib Ahmad bin Zein bin Alwy bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy, Al-Habib Ahmad bin Abdullah Ba-Faqih, Al-Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqih, dll.
Selain mengkader pakar-pakar ilmu agama, mencetak generasi unggulan yang diharapkan mampu melanjutkan perjuangan kakek beliau, Rasullullah SAW, beliau juga aktif merangkum dan menyusun buku-buku nasihat dan wejangan baik dalam bentuk kitab, koresponden (surat-menyurat) atau dalam bentuk syair sehingga banyak buku-buku beliau yang terbit dan dicetak, dipelajari dan diajarkan, dibaca dan dialihbahasakan, sehingga ilmu beliau benar-benar ilmu yang bermanfaat. Tidak lupa beliau juga menyusun wirid-wirid yang dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan bermanfaat untuk agama, dunia dan akhirat, salah satunya yang agung dan terkenal adalah Ratib ini. Ratib ini disusun oleh beliau dimalam Lailatul Qadar tahun 1071 H
Beliau wafat hari Senin, malam Selasa, tanggal 7 Dhul-Qaâdah 1132 H, dalam usia 98 tahun. Beliau disemayamkan di pemakaman Zambal, di Kota Tarim, Hadhramaut, Yaman. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau juga kita yang ditinggalkannya.
Tentang Al-Habib Abdullah Al-Haddad
Al-Arifbillah Quthbil Anfas Al-Imam Habib Umar bin Abdurrahman Al-Athas ra. mengatakan, Al-Habib Abdullah Al-Haddad ibarat pakaian yang dilipat dan baru dibuka di zaman ini, sebab beliau termasuk orang terdahulu, hanya saja ditunda kehidupan beliau demi kebahagiaan umat di zaman ini (abad 12 H).
Al-Imam Arifbillah Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Idrus ra. mengatakan, Sayyid Abdullah bin Alwy Al-Haddad adalah Sultan seluruh golongan Ba Alawyâ.
Al-Imam Arifbillah Muhammad bin Abdurrahman Madehej ra. mengatakan, Mutiara ucapan Al-Habib Abdullah Al-Haddad merupakan obat bagi mereka yang mempunyai hati cemerlang sebab mutiara beliau segar dan baru, langsung dari Allah SWT. Di zaman sekarang ini kamu jangan tertipu dengan siapapun, walaupun kamu sudah melihat dia sudah memperlihatkan banyak melakukan amal ibadah dan menampakkan karomah, sesungguhnya orang zaman sekarang tidak mampu berbuat apa-apa jika mereka tidak berhubungan (kontak hati) dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebab Allah SWT telah menghibahkan kepada beliau banyak hal yang tidak mungkin dapat diukur.
Al-Imam Abdullah bin Ahmad Bafaqih ra. mengatakan, Sejak kecil Al-Habib Abdullah Al-Haddad bila matahari mulai menyising, mencari beberapa mesjid yang ada di kota Tarim untuk sholat sunnah 100 hingga 200 rakaat kemudian berdoa dan sering membaca Yasin sambil menangis. Al-Habib Abdullah Al-Haddad telah mendapat anugrah (fath) dari Allah sejak masa kecilnyaâ.
Sayyid Syaikh Al-Imam Khair Al-Diin Al-Dzarkali ra. menyebut Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai fadhillun min ahli Tarim (orang utama dari Kota Tarim).
Al-Habib Muhammad bin Zein bin Smith ra. berkata, Masa kecil Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah masa kecil yang unik. Uniknya semasa kecil beliau sudah mampu mendiskusikan masalah-masalah sufistik yang sulit seperti mengaji dan mengkaji pemikiran Syaikh Ibnu Al-Faridh, Ibnu Araby, Ibnu Athoilah dan kitab-kitab Al-Ghadzali. Beliau tumbuh dari fitrah yang asli dan sempurna dalam kemanusiaannya, wataknya dan kepribadiannya.
Al-Habib Hasan bin Alwy bin Awudh Bahsin ra. mengatakan, Bahwa Allah telah mengumpulkan pada diri Al-Habib Al-Haddad syarat-syarat Al-Quthbaniyyah.
Al-Habib Abu Bakar bin Said Al-Jufri ra. berkata tentang majelis Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai majelis ilmu tanpa belajar (ilmun billa taâalum) dan merupakan kebaikan secara menyeluruh. Dalam kesempatan yang lain beliau mengatakan, Aku telah berkumpul dengan lebih dari 40 Waliyullah, tetapi aku tidak pernah menyaksikan yang seperti Al-Habib Abdullah Al-Haddad dan tidak ada pula yang mengunggulinya, beliau adalah Nafs Rahmani,bahwa Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah asal dan tiada segala sesuatu kecuali dari dirinya.
Seorang guru Masjidil Haram dan Nabawi, Syaikh Syihab Ahmad al-Tanbakati ra. berkata, Aku dulu sangat ber-taâlluq (bergantung) kepada Sayyidi Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Kadang-kadang dia tampak di hadapan mataku. Akan tetapi setelah aku ber-intimaâ (condong) kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad, maka aku tidak lagi melihatnya. Kejadian ini aku sampaikan kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Beliau berkata, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani di sisi kami bagaikan ayah. Bila yang satu ghaib(tidak terlihat), maka akan diganti dengan yang lainnya. Allah lebih mengetahui. Maka semenjak itu aku ber-taâalluqkepadanya.
Al-Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi ra. seorang murid Al-Habib Abdullah Al-Haddad yang mendapat mandat besar dari beliau, menyatakan kekagumannya terhadap gurunya dengan mengatakan, Seandainya aku dan tuanku Al-Habib Abdullah Al-Haddad ziarah ke makam, kemudian beliau mengatakan kepada orang-orang yang mati untuk bangkit dari kuburnya, pasti mereka akan bangkit sebagai orang-orang hidup dengan izin Allah. Karena aku menyaksikan sendiri bagaimana dia setiap hari telah mampu menghidupkan orang-orang yang bodoh dan lupa dengan cahaya ilmu dan nasihat. Beliau adalah lauatan ilmu pengetahuan yang tiada bertepi, yang sampai pada tingkatan Mujtahid dalam ilmu-ilmu Islam, Iman dan Ihsan. Beliau adalah mujaddid pada ilmu-ilmu tersebut bagi penghuni zaman ini.
Syaikh Abdurrahman Al-Baiti ra. pernah berziarah bersama Al-Habib Abdullah Al-Haddad ke makam Sayidina Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali Baâ Alawy, dalam hatinya terbetik sebuah pertanyaan ketika sedang berziarah, Bila dalam sebuah majelis zikir para sufi hadir Al-Faqih Al-Muqaddam, Syaikh Abdurrahman Asseqaff, Syaikh Umar al-Mukhdor, Syaikh Abdullah Al-Idrus, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, dan yang semisal setara dengan mereka, mana diantara mereka yang akan berada dibaris depan? Pada waktu itu guruku, Al-Habib Abdullah Al-Haddad, menyingkap apa yang ada dibenakku, kemudian dia mengatakan, Saya adalah jalan keluar bagi mereka, dan tiada seseorang yang bisa masuk kepada mereka kecuali melaluiku. Setelah itu aku memahami bahwa beliau Al-Habib Abdullah Al-Haddad, adalah dari abad 2 H, yang diakhirkan kemunculannya oleh Allah SWT pada abad ini sebagai rahmat bagi penghuninya.
Al-Habib Ahmad bin Umar bin Semith ra. mengatakan, Bahwa Allah memudahkan bagi pembaca karya-karya Al-Habib Abdullah Al-Haddad untuk mendapat pemahaman (futuh), dan berkah membaca karyanya Allah memudahkan segala urusannya agama, dunia dan akhirat, serta akan diberi ˜Afiat (kesejahteraan) yang sempurna dan besar kepadanya.
Al-Habib Thahir bin Umar Al-Hadad ra. mengatakan, Semoga Allah mencurahkan kebahagiaan dan kelapangan, serta rezeki yang halal, banyak dan memudahkannya, bagi mereka yang hendak membaca karya-karya Al-Quthb Aqthab wal Ghauts Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad ra.
Al-Habib Umar bin Zain bin Semith ra. mengatakan bahwa seseorang bahwa seseorang yang hidup sezaman dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad ra., bermukim di Mekkah, sehari setelah Al-Habib Abdullah Al-Haddad wafat, ia memberitahukan kepada sejumlah orang bahwa semalam beliau ra. sudah wafat. Ketika ditanya darimana ia mengetahuinya, ia menjawab, Tiap hari, siang dan malam, saya melihat beliau selalu datang bertawaf mengitari Kaâbah (padahal beliau berada di Tarim, Hadhramaut). Hari ini saya tidak melihatnya lagi, karena itulah saya mengetahui bahwa beliau sudah wafat.
Mutiara Wasiat Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Hadad ra. 
Tuntutlah ilmu dari orang-orang yang benar-benar mewarisi ilmu dari Rasulullah SAW, yang sanad isnadnya (silsilah ilmunya sampai Rasulullah) terpercaya karena menuntut ilmu agama itu wajib bagi setiap orang Islam baik laki-laki maupun perempuan. Barang siapa meninggalkannya ia akan berdosa. Karena tanpa ilmu agama, amal ibadah akan tertolak, tidak diterima oleh Allah SWT.
Setiap orang yang beramal tanpa dibarengi dengan ilmu pengetahuan (tentang amalnya itu) maka amalan-amalannya tertolak dan tidak diterima.
 Tidak ada di zaman ini (abad 12 H) yang lebih mudah dan baik daripada Thariqah Baâ Alawy yang telah diakui oleh ulama Yaman dan disepakati oleh ulama Haramain (dua Tanah Haram Mekkah Madinah).Thariqah Baâ Alawy (Alawiyah) adalah Thariqah Nabawiyah.
Thariqah Kepemimpinan adalah thariqah kami Baâ Alawy, dan ini thariqah spesial, dan yang dimaksud thariqah kepemimpinan adalah ikut dan tunduk serta pasrahnya seorang murid terhadap jejak langkah guru yang membimbing dan menuntunnya kejalan Allah, dengan menanggalkan sementara peran akal (rasio). Sesungguhnya akal tidak berperan didalamnya, sebab segala hal disini berdasarkan kasyf (penglihatan mata hati).
Ikut langkah-langkah ulama salaf (ulama terdahulu) akan membuahkan kebaikan yang amat besar, walaupun si pemikut bukan tergolong ahlil bathin. Tetapi jika ia serasikan langkahnya dengan ulama salaf, maka ia akan mendapatkan seperti apa yang didapat oleh mereka para salaf salihin.
Segala permasalahan yang ada itu berlandasakan kejujuran, ada pun orang yang biasa berbohong jika diibaratkan bangunan tidaklah jauh berbeda dengan bangunan diatas air.(lemah dan mudah runtuh).
Jika satu zaman itu rusak, maka wajiblah bagi mereka yang hidup di zaman itu, untuk mengikuti jejak langkah ulama salaf salihin. Jika tidak mampu menyamakan diri dengan mereka dalam setiap langkah, paling tidak hampir menyamai mereka, sebab setiap orang dalam kehidupan itu harus memiliki panutan (imam), sedang orang yang tidak memiliki panutan (Imam) maka panutannya adalah setan.
Telah sesat sekelompok orang sebab buku yang dibacanya, seseorang tidak akan menjadi alim besar kecuali dengan guru yang membimbing dan menuntunnya, bukan dengan buku yang dibacanya.
Penghuni kubur dari para Wali Allah berada di sisi Allah. Barang siapa tawajuh kepada mereka, maka mereka spontan datang membantunya.
Jika kamu melihat seorang dari Baâ Alawy berjalan diluar Thariqah Baâ Alawy maka sesungguhnya maka tiada yang menghalangi dirinya selain kelemahannya sendiri, dan kelemahan itu adakalanya dalam kondisi ekonomi atau hati.
Thoriqah Alawiyyah berdiri atas dasar kemuliaan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Barangsiapa yang menjalin hubungan (kontak batin) dengan kami, maka kami berikan kepadanya segala perhatian kami, kami tidak pernah melepas dan meninggalkannya walaupun dia tinggal jauh dari tempat kami.
Tidak ada hak yang lebih besar kecuali haknya seorang guru. Ini wajib di pelihara oleh setiap orang Islam yang ingin selamat dunia akhirat. Sungguh pantas bila seorang guru yang mengajar, walau hanya satu huruf, diberi hadiah seribu dirham sebagai tanda hormat padanya. Sebab guru yang mengajarmu satu huruf yang kamu butuhkan dalam agama, dia ibarat bapakmu dalam agama.
Barangsiapa ingin anaknya menjadi orang alim, maka dia harus menghormati para ahli fiqih. Dan memberi sedekah pada mereka. Jika ternyata anaknya tidak menjadi alim, maka pasti diantara cucu keturunannya yang akan menjadi orang alim.
Seorang murid (pencari jalan menuju Allah) tidak boleh menyakiti hati gurunya karena belajar dan ilmunya tidak akan diberi berkah.
Adakalanya seseorang murid (pencari jalan menuju Allah) diuji dengan kemiskinan, kepapaan dan kesempitan dalam kehidupan. Maka hendaknya ia bersyukur kepada Allah SWT, disebabkan dengan hal tersebut diatas dan harus beranggapan berprasangka bahwa takdir/kehendak Allah menjadikan anda miskin, papa dan susah serta sempit sebagai sebesar-besarnya kenikmatan karena dunia adalah musuh Allah. Anda harus bersyukur, maka Allah akan mengangkat derajatnya sama dengan para nabi-Nya, para Auliya-Nya dan hamba-hamba yang shaleh.
Ketahuilah bahwa rizki itu telah ditentukan dan telah dibagikan oleh Allah SWT. Diantara hamba-hamba-Nya ada yang diluaskan rezekinya dan dilapangkan kehidupannya, dan dikurangkankan rizkinya menurut kebijaksanaan-Nya. Bersifatlah qonaâah (cukup) atas apa yang ditentukan Allah bagimu.
Awas dan waspadalah dengan panjang angan-angan dan harapan tentang kehidupan di dunia, karena dunia akan menariknya untuk mencintai dunia, dan anda akan terikat dengannya sehingga sukar untuk beribadat dan mengasingkan diri untuk menuju jalan akhirat.
Ada setengah manusia yang tabiatnya suka menganiaya orang, memandang rendah terhadapnya, atau suka mencela dan sebagainya. Jika anda tergolong orang terkena penganiayaan orang maka hendaklah anda bersabar jangan sekali-kali anda membalasnya. Disamping itu, hati anda harus benar-benar bersih dari dengki dan dendam terhadapnya, dan lebih utama lagi jika anda memaafkan orang yang menganiayamu, dan anda doakan supaya Allah memberi petunjuk kepadanya, dan itulah tanda-tanda akhlak serta tingkah laku paraShiddiqin (Orang yang Benar).
Berusahalah sekuat kemampuanmu dalam menghindari diri dari rasa takut dan butuh serta berharap hak terhadap manusia, karena hal tersebut anda akan dipandang oleh manusia tetapi dipandang hina dalam pandangan Allah SWT, karena orang mukmin itu mulia disisi Allah SWT, tiada takut pada siapapun selain Allah dan apa yang dicintai-Nya, dan tak pernah mengharapkan sesuatu selain Allah.
Awas! Jangan sekali-kali anda mentaati syaikh (guru) itu hanya lahiriah semata, karena ketahuilah bahwa syaikh itu dapat melihat ketaatanmu padanya, dibelakangnya anda membantah dan mendurhakai kerena sangkaanmu, anda sangka Allah tidak tahu kelakuanmu, sedangkan syaikhmu itu dekat dengan-Nya. Kalau anda begitu akan mendapatkan kecelakaan, kesempitan dan kebinasaan. Bukankah Allah berjanji kepada barang siapa Aku cintai maka penglihatannya adalah penglihatan-KU, pendengarannya adalah pendengaran-KU, mulutnya adalah mulut-KU, tangannya adalah tangan-KU dan kakinya adalah kaki-KU, barangsiapa memusuhinya atau menyakitinya, maka AKU dan para malaikatKU mengumandangkan perang terhadap dirinya. Jangan sekali-kali datang pada syaikh yang lain melainkan dengan izin syaikhmu.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya syaikhmu sangat berat hati tentang apa-apa yang baik untukmu, dengan itu janganlah engkau menuduh dan menyangka bahwa dia menyimpan perasaan dengki dan cemburu terhadap dirimu, dan semoga dijauhkan oleh Allah. Karena kamu hanya memandang sesuatu hal dengan pandangan lahiriah belaka bukan pandangan  bashirah (mata hati dengan Allah). Awas ! jangan coba-coba menuntut agar syaikhmu mengeluarkan kelebihannya. Karena jika syaikhmu seorang Ahlillaah (orang yang meyakinkan dirinya untuk mengabdi kepada Allah) kekasih Allah, maka ia adalah orang-orang yang teramat merahasiakan kebaikannya, menutupi rahasia-rahasia tentang dirinya, dan sangat jauh untuk menonjolkan dirinya dengan karamah-karamah atau perkara-perkara luar biasa kepada orang banyak meskipun ia amat kuasa dan mampu untuk melakukannya serta diizinkan oleh Allah untuk melahirkannya (memperlihatkan karamahnya).
Syaikh yang kamil (sempurna) ialah seorang syaikh yang selalu memberi faedah pada muridnya, dengan kesungguhan dalam perbuatan dan perkataanya, dia memelihara muridnya sewaktu dihadapannya maupun ketika berada jauh daripadanya. Sang Syaikh memelihara muridnya dengan getaran-getaran kalbunya dalam segala hal yang dikerjakan oleh muridnya. Maka paling sangat berbahaya jika Syaikhnya sudah berpaling dari si-murid. Dalam hal ini jika seluruh syaikh dan wali-NYA yang lain dari timur sampai ke barat dikumpulkan seluruhnya, untuk mengubah hati syaikhnya, niscaya sia-sia dan tidak akan berhasil, kecuali sang murid sendiri harus berusaha untuk mengubah hati syaikhnya dan minta maaf serta mendapat keridhoannya.
Jika anda menyimpan penuh taâzhim (kepatuhan) dan penghormatan setinggi-tingginya terhadap syaikhmu, senantiasa menghargainya, percaya lahir dan batin bersedia mematuhi segala perintahnya, mencontoh akhlaknya, maka itulah tandanya anda sedang mewarisi rahasia-rahasia dari syaikhmu dari syaikhnya dari syaikhnya terus bersambung sampai dari Baginda Nabi Rasulullah SAW, atau sebagian dari rahasia-rahasia tersebut, dan ia terus akan hidup disisimu sesudah wafatnya syaikhmu, inilah anugrah yang terbesar dari Allah SWT yang dapat menghantarkan kita selamat & bahagia di dalam agama, dunia dan akhirat kelak.
Para orang sholeh itu setelah wafat hanya hilang jasadnya saja , pada hakikatnya masih hidup seperti sedia kala malah tambah tajam pandangan bashirahnya dan makin kuat tawajuhnya menghadap) kepada Allah. 
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!
Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ˜alaamin
Allaahumma shalli wa sallim wa barik ˜alaa Sayidina Muhammadin wa ˜alaa aali Sayidina
Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.
Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra]

3. Pokok Utama Perhatian Kaum ˜Arifin dan Kaum Ghafilin
Minat utama, pokok perhatian, dan pandangan hidup kaum ˜arifin yang sungguh-sungguh menyadari dan menemukan kebenaran hakiki ialah pertama-tama meluruskan serta menguatkan iman dan keyakinan serta memurnikan ketauhidan mereka dari segala campuran syirik yang tersembunyi. Setelah itu, memperkukuh jiwanya sendiri dengan sifat-sifat akhlak yang terpuji, seperti kezuhudan, keikhlasan, dan kebersihan hati terhadap seluruh kaum Muslim, serta menghilangkan segala sifat buruk, seperti kecintaan yang berlebihan pada dunia, riyaâ, dan keangkuhan. Kemudian, melaksanakan dengan cara yang benar ”amal saleh yang nyata, menghindarkan din sejauh-jauhnya dan segala perbuatan buruk. Di samping itu, memerhatikan serta memperbaiki hal-hal yang bersangkutan dengan cara-cara memperoleh nafkah hidup dengan pengaturan yang baik, yakni menempuh jalan wara' (berhati-hati dalam ketaatan kepada-Nya) dan ketulusan serta berpegang pada sifat qanaâh (Merasa cukup akan karunia-Nya) dan mengambil sesedikit mungkin untuk kebutuhan hidup.
Hal-hal terakhir ini, yakni yang bersangkutan dengan memenuhi kebutuhan hidup bendawi, merupakan sesuatu yang oleh para 'arifin sangat didambakan dan diusahakan agar tercukupi melalui orang lain yang dengan suatu cara membantu melaksanakannya untuk mereka. Sehingga, mereka sendiri dapat mencurahkan seluruh perhatian, waktu, dan daya upayanya dengan sempurna untuk hal-hal yang telah dijelaskan sebelumnya. Sudah tentu para pembantu tersebut haruslah mereka yang juga memiliki sifat wara' dan menjauhi segala bentuk kezaliman. Camkanlah ini baik-baik.
Adapun tujuan utama dan fokus perhatian kaum ghafillin (lalai) dan mereka yang mencampuradukkan antara yang baik dan yang buruk ialah dalam hal-hal yang mengukuhkan ihwal penghasilan untuk hidup dan memudahkan terpenuhinya syahwat badaniah berupa makanan, pakaian, dan perkawinan. Juga, dalam hal menumpuk-numpuk harta dan menyimpannya untuk kesenangan dan tujuan yang sejenis dengannya. Kemudian, apabila seseorang dari mereka agak tersadarkan pikirannya dan sedikit terbuka wawasannya, ia pun akan menunjukkan sebagian perhatiannya untuk memperbaiki amal-amal ibadahnya dan ketaatan-ketaatan yang nyata, lalu meluruskan akhlak batinnya dan mengejar hal-hal yang sekiranya dapat menguatkan imannya. Dengan demikian, urutan-urutan ini merupakan kebalikan dari pandangan dan praktik hidup para 'arifin dan mereka yang telah menembus kebenaran hakiki. Perhatikanlah hal ini dan camkanlah, niscaya Anda akan mendapati kebenaran yang jelas. Wallaâhu alam . 

Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!
Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ˜alaamin
Allaahumma shalli wa sallim wa barik ˜alaa Sayidina Muhammadin wa ‘alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.
Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq. 
[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra]

4. Kelalaian Manusia akan Hakikat Keimanan sebagai Hikmah llahiyyah
Sekiranya manusia seluruhnya berada pada tingkat yang sama dalam merealisasikan dan mencapai hakikat-hakikat keimanan dan penalaran yang sehat, niscaya mereka akan mencurahkan seluruh kemampuan dirinya untuk mencapai akhirat dengan cara yang paling tulus, memalingkan diri dengan sepenuhnya dari segala kehidupan duniawi, serta tidak memasuki salah satu pintunya kecuali pada saat-saat darurat yang memaksa, sekadar memenuhi kebutuhan saja. Sayangnya, keadaan seperti itu pasti akan mengundang kehancuran dunia ini dan menghambat tegaknya sesuatu dari urusan-urusannya.
Kehendak Ilahi yang azali1 telah menentukan pembangunan dan pemakmuran dunia ini sampai suatu masa tertentu, yakni kelak pada saat Allah menentukan kehancuran dan kemusnahannya. Oleh sebab itu, hikmah Ilahiyyah yang Maha Tinggi telah menetapkan adanya kelalaian dan keberpalingan sebagian besar manusia dari inti hakikat-hakikat segala sesuatu2, sehingga keadaan tersebut mendorong mereka untuk membangun dunia ini, mendambakan kenikmatannya, mengumpulkan harta bendanya seraya memalingkan diri dari akhirat dan melalaikannya. Dalam suatu hadis, Rasulullah Saw. mengingatkan akan hal itu dengan sabdanya:
"Dunia ini adalah rumah kediaman bagi siapa yang tiada berkediaman dan harta kekayaan bagi siapa yang tiada berharta. Dan, untuknyalah orang-orang yang tak berakal mengumpulkan segalanya."3 
Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, "Seandainya tidak ada orang-orang dungu, takkan ada pembangunan (kemakmuran) di dunia ini. "4
Seorang dari kalangan salaf saleh berkata, "Manusia ini diciptakan sebagai makhluk dungu; sekiranya tidak seperti itu, niscaya ia takkan merasa tenteram dan terpuasi dalam hidup ini." Namun, kasih sayang Maha Rahmah Ilaihiyyah telah mengkhususkan beberapa hamba Allah dengan karunia-Nya kewaspadaan dan kearifan akan hakikat-hakikat segala sesuatu dalam kehidupan duniawi ini. Mereka itulah orang-orang yang telah menyadari dan meyakini kebenaran hakiki seperti yang telah kami sebutkan sebelum ini. Yakni, mereka yang memalingkan diri secara keseluruhan dari dunia, yang selalu datang mendekat kepada Allah dan menghampiri kehidupan akhirat.
Mereka ini hanya beberapa orang, sungguh amat jarang dan sangat sedikit jumlahnya pada setiap masa dan tempat. Perhatikan dan camkan ini baikbaik. Sebab, pengertian ini sungguh amat berharga dan mengandung nilai-nilai yang sangat mulia. Wallahu a'lam.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!  
Keterangan:
1.        Azali: sejak permulaan zaman.
2.        maksudnya; hakikat-hakikat keimanan, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qurâan, diajarkan oleh Rasulullah SAW dan diyakini oleh akal sehat disebabkan tidak adanya keraguan akan segala kebenaran dari kedua sumber tersebut (Al-qurâan dan Sunnah)
3.        diriwayatkan dalam Jamiâ Al-Saghir Imam Jalalluddin As-Suyuthi oleh Imam Ahmad dan Al-Baihaqi dari Sayidah Aâisyah dan Ibn Masâud. Maksudnya; orang yang berakal sehat tidak akan peduli pada kesenangan dunia dan tidak ingin menumpuk-numpukkan harta bendanya karena ia adalah fana-semu, sedangkan akhirat lebih utama dan lebih kekal abadi.
4.      Yang dimaksud orang dungu disini ialah kaum ghafillin, yang lalai dan melalaikan pemahaman hakekat-hakekat keimanan tersebut, bukan orang-orang yang kurang akal atau tidak memiliki kecerdasan.
Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ˜alaamin

Allaahumma shalli˜alaa Muhammadin wa ˜alaa aali Muhammadin wa sallim

Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.

[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] 

5. Zaman Kebaikan (Perbaikan) dan Zaman Keburukan (Perusakan) 
Setiap zaman, sejak dahulu hingga sekarang, pasti menyimpan kebaikan dan keburukan. Ia juga menjadi saksi bisu adanya orang-orang yang baik dan yang jahat, yang memperbaiki dan merusak.
Suatu zaman disebut zaman baik apabila lebih menonjolkan kebaikan dan kebijakan serta kebenaran yang diperbuat oleh manusia baik-baik pada masa itu, dan orang-orang saleh lebih banyak jumlahnya dan lebih besar peranannya. Sebaliknya, kejahatan, kebatilan, serta orang-orang jahat pada masa itu terkalahkan dan tidak banyak berperan di dalamnya. Jika demikian halnya, ia disebut zaman baik. Sebagai contoh, masa hidup Rasulullah Saw. Dan Khulafaur Al-Rasyidin sepeninggal beliau.
Namun, jika pada suatu zaman, kejahatan dan peranan orang-orang jahat lebih menonjol, sedangkan kebaikan jarang terjadi, orang-orang baik pun amat sedikit jumlahnya sehingga mereka tidak dikenal dan tidak menonjol, maka zaman itu dinisbahkan pada kejahatan dan fitnah, lalu disebut zaman buruk atau zaman fitnah dan balaâ.
Dari uraian kami itu, jelaslah bahwa setiap zaman dinisbahkan atau dikaitkan dengan keadaan yang lebih menonjol dan lebih banyak jumlahnya. Sebab, tidak ada zaman mana pun yang kosong sama sekali dari kebaikan ataupun kosong sama sekali dari kejahatan, sebagaimana telah disebutkan di atas.
Adapun yang lebih menonjol pada zaman kita ini, seperti juga pada masa-masa lalu yang dekat, ialah keburukan, kerusakan, dan kejahatan. Orang-orang yang hidup pada zaman ini lebih banyak yang bersifat jahat dan buruk kelakuannya, sedangkan kebaikan dan ketulusan jarang dijumpai. Jumlah orang-orang yang baik dan saleh amat sedikit dan mereka itu tidak menonjol, terlupakan, dan terkalahkan.
Hanya kepada Allah kami memohon pertolongan. Dia cukup bagi kita dan Dialah sebaik-baik penolong. 
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!

Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim. Alhamdulillahi robbil ˜alaamin

Allaahumma shalli ˜alaa Muhammadin wa ˜alaa aali Muhammadin wa sallim

Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra]


6. Di Antara Penyakit Hati: Keangkuhan dan Kelengahan 
Orang-orang yang angkuh ataupun yang lengah (ghaflah) dipalingkan dari ayat-ayat kekuasaan dan kebesaran Allah, pemahaman rahasia-Nya, serta penyaksian cahaya-cahaya-Nya sebagaimana dalam firman-Nya:
Akan Kupalingkan dari ayat-ayat-Ku (tanda-tanda kekuasaanKu) orang yang menyombongkan diri tanpa alasan haqq (yang dibenarkan) di muka bumi, dan sekalipun mereka melihat semua ayat itu, mereka tiada juga percaya. Dan, sekalipun mereka melihat jalan kebenaran, mereka tiada juga menempuhnya. Tetapi, jika mereka melihat jalan kesesatan, akan mereka tempuh dengan menganggapnya sebagai jalan kebenaran. Sebabnya adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan lalai terhadapnya. (QS Al-Aâraf [7]: 146)
Demikianlah Allah Swt. melukiskan orang-orang yang angkuh dengan berbagai sifat tercela, antara lain kelalaian akan ayat-ayatNya yang membuat mereka dipalingkan dari kebenaran karena keangkuhan dan kelalaian mereka sendiri. Keangkuhan dan kelalaian termasuk di antara penyakit yang mengakibatkan ketidakmampuan memahami ayat-ayat Allah selama si penderita belum bangkit dari kelalaiannya dan sembuh dari penyakitnya.
Bagaimana mungkin orang yang selalu takabur dapat memahami ayat-ayat Allah, sedangkan kecongkakannya melangit, tak bersedia merendah bagi kebenaran dan ahlinya, dan karena itu hatinya dikunci mati oleh Allah sebagaimana dalam firman-Nya:
Demikianlah Allah mengunci mata hati setiap hati orang yang takabur lagi menyalahgunakan kekuasaan. (QS Al-Mu'min [40]:35)
Demikian pula orang yang lalai. Sebab, kelalaiannya telah memalingkan hatinya dari pemahaman akan ayat-ayat Tuhannya dan menjadikan dirinya membelakangi kebenaran serta berpaling menjauhkan diri dari Allah Swt. Oleh sebab itu, Allah Swt. memerintahkan Nabi-Nya agar menjauhi orang yang berpaling seperti dalam firman-Nya:
Karena itu, jauhilah orang yang berpaling dari peringatan Kami dan hanya menginginkan kehidupan duniawi. (QS Al-Najm [53]: 29)
dan juga firman-Nya:
Janganlah turuti orang yang hatinya Kami biarkan lalai mengingat Kami. (QS Al-Kahfi [18]: 28)
Maka, waspadalah dan jauhkanlah dirimu sejauh-jauhnya dari sifat takabur. Sebab, ia adalah penyakit yang menimpa iblis sehingga mencegahnya dari menaati Allah ketika diperintahkan untuk bersujud kepada Adam a.s. Bahkan, ia berani membangkang dan bertakabur. Dan, dengan ketakaburan dan pembangkangannya itu, patutlah ia terhinakan, terkutuk, dan terusir dari rahmat Allah serta terjerumus dalam nestapa abadi. (Semoga Allah mengaruniai kita keselamatan dari segala balaâ dan penyakit.)
Waspadalah pula agar kita tidak berlalai-lalai, lupa akan Allah, sebutan nama-Nya, dan kehidupan akhirat. Sebab, kelalaian termasuk di antara penyebab terbesar kehancuran yang mendatangkan berbagai ragam kejahatan dan penderitaan di dunia dan akhirat.
Sungguh orang yang tiada mengharapkan pertemuan dengan Kami tetapi senang dan puas dengan kehidupan di dunia dan tiada memerhatikan ayat-ayat kami, merekalah yang tempat tinggalnya api neraka disebabkan apa yang mereka lakukan. (QS Yunus [10]: 7-8)
Mereka mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia dan tentang akhirat mereka dada peduli. (QS Al-Rum [30]: 7)
Perhatikan, betapa Allah Swt. meniadakan ilmu pengetahuan pada diri mereka. Padahal, sesudah itu Dia menyatakan bahwa mereka "memiliki ilmu tentang kehidupan duniawi". Kemudian, Dia menutup keterangan-Nya itu dengan melukiskan mereka sebagai orang-orang yang melalaikan akhirat.
Ketahuilah ini dan camkanlah baik-baik. Hanya Allah yang memberi taufik, tiada tuhan selain Dia. 
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!
Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ˜alaamin

Allaahumma shalli ˜alaa Muhammadin wa ˜alaa aali Muhammadin wa sallim

Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] 

7. Melalaikan Perbaikan Diri Sendiri demi Menyenangkan Hati Orang
Tak sepatutnya bagi seorang yang bertakwa dan berakal, pada zaman ini, untuk sering kali berupaya menyenangkan hati orang banyak, menghindari kecaman mereka, dan mengikuti selera mereka sampai-sampai meninggalkan beberapa hal yang dianggapnya justru dapat memperbaiki hatinya sendiri atau menimbulkan ketenangan dan kebahagiaan dalam jiwanya, demi mengharapkan kepuasan mereka semata.
Pada zaman ini, upaya menyenangkan hati orang banyak dan mengikuti selera umum hanya akan menimbulkan kelelahan jiwa dan sama sekali tak ada faedahnya. Sebab, kebanyakan mereka terlalu disibukkan dengan dirinya sendiri sehingga lahir dan batin mereka tenggelam dalam urusan duniawi belaka. Hal ini menjadikan mereka, pada umumnya, tidak lagi dapat membedakan antara yang baik dan buruk sebagaimana yang dapat diketahui oleh setiap pemerhati. Itulah sebabnya orang-orang yang kuat tekadnya dan mantap jiwanya tidak menyukai sikap mengikuti selera sebagian besar manusia atau merasa segan terhadap mereka.
Alangkah tepatnya ucapan seorang penyair: 

Pasti binasa menanggung prahara hati,
bila selalu terikat selera manusia,

jayalah dia, si pemberani,

tenang jiwanya sepanjang masa.
Memang, pada masa-masa lalu mungkin ada sebagian faedah dalam sikap menenggang dan mengindahkan (memenuhi) keinginan kebanyakan orang. Sebab, waktu itu mereka masih dapat membeda-bedakan antara segala sesuatunya, dan adakalanya masih bersedia memerhatikan kepentingan orang lain. Namun, itu semua ia kini telah menghilang, atau nyaris hilang, disebabkan mereka telah tenggelam dalam kepentingan dirinya sendiri dan tidak kemampuan dan kemauan untuk membeda-bedakan sesuatu (antara yang haqq dan bathil, antara yang halal dan haram).
Kesimpulannya, seorang yang berakal dan bertakwa tidaklah sepatutnya mengandalkan sesuatu selain mencari keridhaan Ilahi, keselamatan diri, serta kebaikan kehidupan akhirat. Seraya menjauhkan diri dari dosa dan segala yang mendatangkan nista, ia sebaiknya mencari ketenangan dan kedamaian yang bersemayam jauh di lubuk hati. Dalam hal ini, ia tidak perlu sama sekali mengindahkan siapa pun di antara manusia yang telah disibukkan dengan kepentingan diri mereka semata-mata pada zaman ini. Sebaiknya, ia sendiri pun cukup mengurusi dirinya saja untuk segala yang mendatangkan kebaikan baginya di dunia dan di akhirat.
Camkanlah ini baik-baik. Semoga Allah menunjukkan jalan hidayah untukmu. 
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!
Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ˜alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik alaa Sayidina Muhammadin wa ˜alaa aali Sayidina ``Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.

[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra]

8. Empat Kategori Orang Saleh dan Empat Kategori Kebalikannya
Manusia di dunia ini dapat dibagi atas empat kategori. Kebaikan dan kelurusan dunia bergantung pada kebaikan dan kelurusan sikap mereka pula.
Pertama, seorang ˜abid (ahli ibadah) yang mustaqim1, zahid2, menunjukkan perhatian sepenuhnya kepada Allah, ˜arif billah3 secara sempuma, dan memiliki kesadaran yang tajam dalam keberagamaan.
Kedua, seorang ulama yang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama, berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah, menerapkan serta mengamalkan ilmunya, mengajari dan menasihati manusia, memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar, tidak bersifat plin-plan dalam urusan agama, dan tidak peduli pada kecaman siapa pun dalam membela ketetapan-ketetapan Allah Swt.
Ketiga, seorang penguasa yang adil, jujur, baik perilakunya, bersih jiwanya, dan lurus politiknya.
Keempat, seorang hartawan yang saleh, memiliki kekayaan yang besar dan bersih, membelanjakannya dalam amal-amal kebajikan, menggunakannya untuk menyantuni kaum lemah dan fakir miskin, dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang dalam keadaan kesulitan. Ia tidak menyimpan dan mengumpulkan hartanya itu kecuali untuk tujuan-tujuan tersebut serta berbagai kebajikan dan santunan yang sejalan dengan itu.
Selain itu, di samping kategori manusia di atas, ada pula orang-orang yang tampaknya serupa dengan mereka dalam keadaan lahiriahnya, tetapi tidak sesuai dengan hakikat sebenarnya. Maka, di samping si 'abid yang mustaqim, ada orang yang berlagak seperti seorang shufi4 yang mencampuradukkan dan mencurigakan. Di samping ulama yang mengamalkan ilmunya dengan jujur, ada ulama yang durjana dan munafik. Di samping penguasa yang adil dan bijak, ada penguasa tiran yang selalu menyimpang dan kebenaran dan tak becus memimpin dan memerintah. Di samping hartawan yang saleh, ada hartawan zalim, yang mengumpulkan kekayaan dengan cara yang tidak halal, mengelak dan kewajibannya, serta membelanjakannya dalam hal-hal yang tidak sepatutnya.
Orang-orang jahat seperti itu menyebabkan kerusakan dan keguncangan kehidupan dunia, kekacauan ihwal manusia, dan penyimpangan mereka dan arah yang benar. Namun, semuanya kembali kepada Allah SWT jua. Di tangan-Nyalah segala kerajaan. Mahasuci Dia, Yang Maha Esa lagi Berkuasa, Raja Yang Maha Pemberi, Yang mewujudkan segala sebab atas perkenan-Nya. Demi kehendak-Nya, tiada tuhan kecuali Dia, dan kepada-Nyalah segala sesuatu akan kembali.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!  
Keterangan:
1.        Mustaqim; lurus dan lapang. Orang yang ber-istiqomah, yakni senantiasa bersikap lurus sesuai dalam agama.
2.        Zahid; orang yang berzuhud, yang meninggalkan kecenderungan kesenangan duniawi yang bersifat sementara (fanaâ-semu).
3.        ˜arifbillah; orang bijak yang memperoleh makrifat , yakni pengetahuan mendalam tentang Allah SWT dan alam semesta, atas perkenan Allah Swt dan sebagai anugerah khusus dari-Nya.
4.        Shufi; ahli tasawuf, yakni ilmu yang mencari kebenaran hakiki dan pendekatan diri kepada Allah Swt dengan berbagai amalan, iabdah, zikir, renungan dsb. 

Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ˜alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ˜alaa Sayidina Muhammadin wa ˜alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.

[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] 

9. Ragam Cara Manusia Menikmati Kehidupan Dunia
Ketahuilah bahwa Allah (bagi-Nya segala puji) telah menciptakan dunia dan menjadikannya sarana bagi orang Mukmin untuk mengambil bekal kehidupannya kelak di akhirat. Dunia ini juga merupakan sarana kaum Mukmin untuk beramal dengan melaksanakan ketaatan kepada Tuhannya. Namun, bagi orang-orang durhaka, dunia ini adalah sesuatu yang dinikmati demi memuaskan hatinya dan melampiaskan syahwatnya dalam keberlalaian kepada Tuhannya dan kealpaan akan akhiratnya.
Allah Swt. telah memenuhi dunia dengan aneka ragam kebutuhan makhluk-Nya dan berbagai bentuk kenikmatan yang dapat mereka rasakan. Dia menciptakan semua itu di dalamnya sesuai dengan kadar yang mereka butuhkan, bahkan berlebihan, berlipat ganda dari kebutuhan mereka. Kemudian, Dia mengirimkan hamba-hamba-Nya untuk menjelaskan kepada manusia agar mengambil dari dunia ini sekadar kebutuhan mereka dalam meniti jalan menuju akhirat, seraya mengingatkan mereka agar jangan mengambil lebih dari itu, men-zuhd-kan1 mereka darinya dan menjauhkannya dari menjadi buah idaman mereka. Maka, terbagilah manusia dalam hal itu menjadi beberapa bagian:
Pertama, orang-orang yang mencukupkan diri dengan hanya mengambil kurang dari kebutuhan. Mereka terdorong oleh kewaspadaan dan sikap hati-hati (waraâ). Dan, sekiranya pada suatu saat mereka meraih lebih dari itu tanpa disengaja atau tanpa usaha berlebihan, secepatnya mereka mengeluarkannya lagi dan memberikannya kepada siapa saja yang berhak menerimanya atau mengharapkannya. Mereka ini ialah kelompok para nabi dan utusan Allah (shalawat dan salam atas mereka semuanya), para shiddiqin2 yang mewarisi mereka secara sempuma, para ulama yang mendalam ilmunya, serta hamba-hamba Allah yang saleh dan baik amalnya. Termasuk pula dalam kelompok ini para ahli zuhud yang lama sekali melarikan diri dari dunia. Namun, kelompok orang yang disebutkan sebelumnya lebih sempurna dan lebih utama daripada para ahli zuhud yang disebut belakangan. Sebab, orang-orang itu tidak lari dari dunia pada saat mereka juga tidak menginginkannya, bahkan mereka mengeluarkan apa yang telah masuk dalam genggaman tangan mereka sesuai dengan yang disukai Allah dan diperintahkan-Nya. Demikianlah kedudukan kelompok pertama, yang paling sempurna dan paling afdhal.
Kelompok kedua, orang-orang yang mengambil sekadar kecukupan mereka dari dunia ini, dengan bijaksana, tanpa mencari-cari dalih ataupun sengaja memilih cara-cara yang paling ringan.
Kelompok ketiga, orang-orang yang mengambil dari dunia ini lebih dari yang mereka perlukan. Kelompok ini terbagi menjadi beberapa bagian, antara lain mereka yang berhasil mencapai idamannya dengan usaha yang cukup wajar. Tetapi, ada pula yang terjerumus dalam pencampuradukan dan "menyerempet" bahaya. Sebagian lagi mengambil lebih dari kadar yang diperlukannya untuk dinikmatinya dengan cara yang dibolehkan (mubah) dalam syariat, seraya mengakui keutamaan orangorang yang berzuhud serta menyadari bahwa dirinya berada di bawah tingkatan-tingkatan mereka yang tinggi dan maqam (kedudukan) mereka yang mulia. Besar harapan bahwa orang-orang ini dapat pula beroleh rahmat dari Allah Swt.
Di samping mereka itu, yakni orang-orang yang mengambil lebih dari kebutuhannya untuk bersenang-senang sekadarnya, ada pula yang hidupnya bermewah-mewah secara berlebihan, mengumpulkan dan menumpuk-numpuk harta dibarengi dengan sikap lalai dan pencampuradukan antara yang halal dan yang haram. Mereka pun terkelabui oleh setan sehingga "berani" terhadap Allah Swt. Kadang-kadang, orang-orang seperti ini, karena kejahilan dan kekurangajaran terhadap Allah, bahkan menganggap keadaannya lebih utama daripada orang-orang yang berzuhud. Ada pula dari mereka yang dalam kemewahan hidupnya yang berlebih-lebihan masih mendakwakan bahwa ia hanya mencukupkan dengan kebutuhan atau bahkan sekadar yang sangat darurat. Ada lagi yang mendakwakan bahwa mereka merangkum dunia ini dan, mengumpulkan harta kekayaan berlimpah-limpah semata-mata untuk bersedekah, menyantuni fakir miskin, dan menafkahkannya dalam amal-amal khair (baik). Padahal, ia jauh, amat jauh dari itu, seperti yang dipersaksikan oleh tindakan dan perbuatannya yang berlawanan dengan dakwaan dan pengakuannya. Juga, disaksikan oleh Allah, malaikat-Nya, serta hamba-hamba-Nya yang benar-benar beriman, yang melihat perbuatan-perbuatannya yang jahat dan perilakunya yang buruk pada saat ia mendakwakan hal-hal yang mulia bagi dirinya sendiri dan "angan-angannya" (atau lebih tepat keberaniannya) yang menyesatkan terhadap Tuhannya.
Semoga Allah mengaruniakan keselamatan atas diri kita dari segala kesesatan dan kebohongan, serta segala macam ujian dan cobaan yang menghinakan. Kami juga memohon kepadaNya agar menjulurkan tirai ampunan-Nya atas dosa-dosa kita serta seluruh kaum Muslim.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!  
Keterangan:
1.        Zuhd; asal katanya berarti tidak menyukai, menjauhi, meninggalkan. Dalam istilah tasawuf berarti menjauhi keduniaan untuk beribadah kepada Allah secara sempurna.
2.        Shiddiqin; kata jamak dari shiddiq, yaitu orang yang benar-benar tulus kepada Allah SWT dan sangat dapat dipercaya ucapan dan amal perbuatannya. 

Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ˜alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ˜alaa Sayidina Muhammadin wa ˜alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra]

10. Orang Miskin yang Sabar dan yang Selalu Gelisah dan Menggerutu
Orang yang mencari harta di dunia ini untuk memperoleh sekadar kebutuhannya, lalu ia tak berhasil karena "bagian" yang telah ditentukan baginya dan dunia ini hanya di bawah kadar kebutuhannya, maka itulah yang disebut faqir1. Orang seperti itu tidak termasuk dalam kelompok ahli zuhud. Namun, jika ia dalam usahanya itu ”tetap berpegang pada sifat wara' dan takwa, kemudian ia sabar dan rela sepenuhnya dengan bagian yang ditentukan baginya, ia adalah fakir yang sabar. Kemiskinannya itu adalah kemiskinan yang terpuji. Cukup banyak ayat dan hadis yang menyatakan keutamaannya, antara lain sabda Nabi Saw.:
"Kaum fakir miskin yang selalu sabar akan dijadikan kawan berbincang Allah Swt. pada hari kiamat."2 
Adapun orang yang meninggalkan takwa dan wara' dalam usaha mencari harta dunia, melalaikan kewajibannya terhadap Allah, kemudian tidak bersabar dan tidak rela akan bagian yang diperuntukkan baginya oleh-Nya, bahkan ia selalu menggerutu, resah dan marah, merasa iri setiap kali melihat ahli dunia dalam kemewahannya, maka seperti inilah fakir yang tercela. Besar kemungkinannya, keadaannya inilah yang dimaksud oleh sabda Nabi Saw:
"Kemiskinan hampir-hampir menjadikan (atau mendekati) ke - kufuran." 
(HR Abu Nu'aim)
Mungkin hal inilah yang selalu beliau mohonkan perlindungan Allah darinya. Dan, atas diri fakir seperti inilah, tak syak lagi, ditujukan celaan, seperti yang dapat dibaca dalam beberapa ucapan para ulama, kendatipun hal ini, yakni celaan terhadap kemiskinan, tidak banyak jumlahnya dan jarang sekali dijumpai. Wallaâhu alam.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!! 
Keterangan:
1.        Faqir; orang yang penghasilannya jauh dibawah kebutuhannya, di bawah penghasilan orang miskin. Disebutkan dalam kitab Ihyaâ Ulumuddin dari sahabat Umar ibn Khattab ra. bahwa Nabi SAW pernah bersabda, Segala sesuatu ada kuncinya, adapun kunci surga ialah mencintai orang-orang miskin. Kaum fakir miskin yang selalu sabar adalah kawan berbincang Allah SWT pada hari kiamat. 

Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ˜alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ˜alaa Sayidina Muhammadin wa ˜alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra]

11. Pandangan Orang Dungu terhadap Rohah1 yang Sempurna 
Di dunia ini tak mungkin terdapat ke-rohah-an bagi seorang Mukmin yang berakal. Kalaupun ada, pasti ia dibarengi dengan adanya kelengahan dan kelalaian orang itu terhadap Tuhannya serta urusan akhiratnya.
Adapun orang yang dungu (ahmaq)2, mungkin saja ia merasa rohah di dunia ini. Terwujudnya ke-rohah-an tersebut semata-mata disebabkan kedunguannya sehingga tidak menyadari letak segala penyakit serta berbagai macam sumber kerisauan dan kegelisahan yang telah dan masih akan datang bersama-sama kerohah-an duniawi.
Ucapan kaum bijak bestari bahwa tidak mungkin ada ke-rohahan di dunia dan bahwa manusia di dunia ini mencari sesuatu yang pada hakikatnya tidak diciptakan di dalamnya, maksudnya ialah kerohah-an yang sempurna dan murni sebagaimana yang tampak bagi mereka yang telah terbuka mata hatinya dan mengalami pencerahan nurani dan nalar. Demikianlah keadaannya. Sedangkan orang yang ahmaq dan tidak berakal bisa saja ia beroleh kerohah-an. Itulah sebabnya ada ungkapan, "Sungguh, rohah untuk orang yang tak berakal."
Seorang penyair terkenal bernama Al-Mutanabbi pernah mengisyaratkan hal tersebut dalam syairnya:

Kenyamanan hidup ini hanyalah bagi si jahil,
atau lalai pada yang telah dan akan terjadi,

atau menipu diri terhadap hakikat segalanya,
sehingga tamak mengharap yang mustahil.
Atau dalam syairnya yang lain:
Dengan akalnya,
manusia menderita meski dalam kenikmatan,
sementara yang bodoh dalam penderitaannya bersenang-senang
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!  
Keterangan:
1.        Rohah : Kenyamanan hidup yang tak terganggu oleh apapun. Bersantai-santai tanpa memperhitungkan akibatnya di dunia maupun akhirat.
2.        Ahmaq : Dungu, pandir, jahil, dan picik. 

Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ˜alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ˜alaa Sayidina Muhammadin wa âalaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] 
12. lhwal Manusia yang Bertakwa dan yang Bergelimang Dosa
Ketahuilah bahwa segala sesuatu akan menjadi baik apabila disertai takwa dan ihsan1 . Hal ini berlaku atas semua ihwal yang bergantian pada diri manusia seperti dalam keadaan miskin dan kaya, sehat dan sakit, mulia dan hina, terlupakan dan diabaikan atau dikenal dan dipuja-puja, dan seterusnya. Demikian pula, segala sesuatu dari ihwal manusia akan menjadi buruk dan hambar apabila disertai perbuatan-perbuatan dosa dan kejahatan. Berikut beberapa penjelasan yang dapat Anda renungkan: 
Seorang yang selalu bertakwa dan berihsan apabila ditimpa kemiskinan, hubungannya dengan Allah Swt. menjadi semakin baik karena selalu diliputi oleh berbagai suasana yang mulia, seperti kerelaan, qanaâah, kesabaran, wara', dan ketidakber gantungan kepada orang lain. Ia pun akan beroleh berbagai karunia Allah Swt., yang disebut luthf2 atau althaf Illahiyyah, seperti keridhaan, kedekatan kepada-Nya, pertolongan-Nya, dan peneguhan dari-Nya berupa ketabahan hati, kesabaran diri, ketahanan jiwa, dan sebagainya. Begitu juga dalam hubungannya dengan sesama manusia; ia selalu berhasil menyembunyikan penderitaannya dan tampak ceria di hadapan mereka. Dari mereka pun terdengar puji-pujian terhadapnya, dalam kemiskinannya, bahwasanya Allah Swt. telah mengarahkannya ke jalan orang-orang yang baik dan tulus, yakni para wali3-Nya serta orang-orang pilihan-Nya.
Namun, sekiranya kemiskinan seperti ini menimpa orang fajir4 yang bergelimang dalam dosa, niscaya ia menyebabkannya selalu dalam keadaan resah, cemas, dan marah. Melihat kekayaan orang lain, dalam dirinya timbul ketamakan dan perdambaannya yang berlebih-lebihan untuk memperoleh seperti itu. Orang seperti itu niscaya memperoleh hukuman Allah Swt. berupa kemurkaan, kebencian, dan pencegahan dari bantuan, kesabaran, dan pertolongan-Nya. Sementara itu, dalam hubungannya dengan sesama manusia, ia pasti akan dicemooh dan diperolok dengan kemiskinan dan penderitaannya. Lidah-lidah mereka tak henti-hentinya mengucapkan kata-kata celaan karena ia tidak becus dalam ikhtiar untuk dirinya dan kurang giat dalam upaya mendatangkan Iffah5 dan kecukupan untuk dirinya, bahkan mereka akan menyatakan bahwa Allah Swt. telah menghukumnya dengan kemiskinannya itu akibat keberagamaannya yang kurang kuat dan kebaikannya yang sedikit.
Selama manusia dalam keadaan bertakwa dan berihsan, lalu Allah Swt. menganugerahkan kekayaan kepadanya dan meluaskan rezeki baginya, maka sifat-sifat yang meliputinya dalam hubungannya dengan Allah ialah bersyukur kepada-Nya dan sangat menghargai nikmat-Nya. Ia selalu menggunakan nikmat sebagai sarana ketaatan kepada-Nya, membelanjakan hartanya dalam berbagai bidang kebajikan, dan berbuat baik untuk siapa saja yang dekat maupun jauh. Ia pun akan beroleh perlakuan baik dan Allah Swt., yakni keridhaan, kecintaan, dan pertolongan-Nya yang berupa tambahan kekayaan dan kelapangan rezeki. Demikian pula lidah-lidah manusia tak henti-hentinya mengucapkan puji-pujian kepadanya karena amal-amal kebaikan yang selalu diperbuatnya dan mereka selalu mendoakan baginya agar memperoleh tambahan kekayaan, kelapangan, dan sebagainya.
Namun, apabila ia tergolong ahli penyelewengan dan kejahatan, sedangkan ia memiliki harta dan kekayaan dunia, niscaya ia akan diliputi hasrat menumpuk-numpuk harta, menggenggamnya karena kebakhilan, kurangnya sifat wara' dan kuatnya dorongan kerakusan dan sifat-sifat buruk lainnya. Dalam hubungannya dengan Allah Swt., ia akan beroleh kemurkaan dan kebencian-Nya. Lidah-lidah manusia pun tak henti-hentinya mengucapkan celaan terhadapnya disebabkan sedikitnya kebajikan yang bersumber padanya, kebiasaannya melanggar janji, tidak berpegang pada kejujuran, dan menolak memberikan santunan serta berbuat ihsan dan lain sebagainya.
Apabila seorang ahli takwa dan ihsan diliputi kesehatan dan keselamatan, ia akan bersyukur kepada Allah Swt., bersungguh-sungguh dalam mencari keridhaan-Nya, dan menggunakan kesehatan dan kekuatannya itu dalam ketaatan kepada-Nya. Ia pun akan beroleh balasan dan Allah Swt. berupa keridhaan dan kemuliaan. Demikian pula lidah-lidah manusia terus-menerus menujukan pujian-pujian kepadanya atas amal-amal salehnya serta kesungguhannya dalam ketaatan kepada Allah Swt.
Apabila orang seperti itu yakni ahli takwa dan ihsan menderita sakit, ia tetap ridha, sabar, pasrah terhadap kehendak Allah, hanya mengharapkan pertolongan dari-Nya, tidak resah dan tidak berkeluh kesah atau mengadukan halnya kepada siapa pun selain kepada Allah Taala. Allah Swt. niscaya melimpahkan kepadanya ridha dan Inayah6-Nya, memberinya pertolongan dan kekuatan agar merasa tenang dan tenteram, dan lain sebagainya. Lidah-lidah manusia pun mengucapkan pujian dan kekaguman bahwa Allah Swt. mengirim penyakit ini kepadanya semata-mata untuk menjadi kaffarah7 dosa, penambah pahala, dan peninggi derajatnya.
Seseorang yang tergolong manusia durhaka dan buruk perilakunya apabila berada dalam keadaan sehat dan sentosa, ia akan bersikap angkuh, tak segan-segan melanggar hak orang lain, malas melaksanakan ketaatan kepada Tuhannya dan sering kali menggunakan kekuatan serta kekuasaannya dalam penyimpangan dan perbuatan maksiat. Allah SWT. niscaya murka kepadanya dan menjauhkannya dan rahmat-Nya. Demikian pula lidah-lidah manusia tak henti-hentinya mencelanya atas pelanggaran, keangkuhan, serta perbuatan-per¬buatannya yang dibenci Allah SWT.
Apabila orang seperti ini (si durhaka) menderita sakit atau ditimpa bencana, ia akan bersikap marah, putus asa, resah, selalu menggerutu, tak mau menerima ketetapan Allah, serta selalu dikuasai oleh sifat-sifat yang buruk. Jika sudah demikian halnya, Allah SWT. akan memperlakukannya dengan kebencian dan pengusiran dari rahmat-Nya. Masyarakat sekitar pun
tak segan-segan menunjukkan celaan dan kecaman kepadanya dengan menyatakan bahwa Allah SWT. "menghukumnya dengan penyakit dan bencana disebabkan pembangkangannya, kezalimannya, serta banyaknya dosa dan kejahatan yang dilakukannya".
Perhatikan hal-hal seperti itu dan jadikanlah sebagai pelajaran, baik dalam kejayaan atau kehinaan, ketika menjadi terkenal ataupun dilupakan orang, dalam kesempitan atau kemakmuran, dan seterusnya yang berkenaan dengan ihwal manusia yang bergantian. Anda akan mengetahui dan me¬nyadari bahwa hanya takwa dan perbuatan ihsan saja yang akan memperindah ihwal manusia, dan dengan itu pula segala keadaannya akan menjadi baik dan lurus. Dan, bahwasanya perbuatan pelanggaran dan kejahatan akan membuat buruk dan tercelanya keadaan manusia serta mendatangkan cercaan dan kecaman orang lain di samping kemurkaan dan kebencian Allah Swt. Perhatikan masalah ini dengan baik. Sebab, ia mengandung berbagai ilmu yang amat penting serta menyimpan solusi berbagai persoalan yang rumit. Sekiranya kami meneruskan pembahasan ini, niscaya ia akan menjadi panjang sekali. Dengan peringatan yang sedikit ini, kami berharap bisa mencukupi siapa saja yang mau menggunakan akalnya dengan kesadaran yang tinggi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!! 
Keterangan:
1.        Ihsan : Kebaikan yang dilakukan dengan ikhlas dan sempurna. Dalam suatu hadist nabi SAW disebutkan, Ihsan ialah beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya. Dan jika yang demikian itu tidak
2.        mungkin, sadarilah bahwa Dia melihatmu.
3.        Lutfh : Kelembutan dan kasih sayang. Yang dimaksud dengan Lutfh Illahi atau Althaf Illahiyah ialah kasih sayang Illahi yang menjaga seseorang dari terperosok dalam dosa-dosa, atau tertimpa berbagai bencana, atau merendam dampak bencana yang telah menimpa.
4.        Wali Allah : Orang yang benar-benar beriman dan bertakwa sehingga sangat akrab hubungan timbal baliknya dengan Allah SWT, selalu mendekatkan diri kepada-Nya sehingga Dia pun melimpahkan anugerah-anugerahnya secara lahir dan batin.
5.        Fajir : Orang yang durhaka
6.        Iffah : Mempertahankan kehormatan diri dari meminta-minta, pengekangan hawa nafsu, dan menjauh dari perbuatan rendah.
7.        Inayah : Penjagaan, perhatian seksama dari-Nya.
8.        Kaffarah : Suatu pembayaran atau perbuatan untuk menghapus kesalahan atau dosa. Penyakit yang diterima dengan sabar oleh seorang mukmin dapat menghapus dosa-dosanya dan menyucikannya kembali. 

Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ˜alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ˜alaa Sayidina Muhammadin wa ˜alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra]

13. Keutamaan lhsan dalam Amal Ibadah
Menurut kalangan arifin yang tercerahkan nuraninya dan kuat keyakinannya, ihsan dalam suatu amal perbuatan lebih penting daripada perbuatan itu sendiri. Tanpa ihsan, ketelitian, penghayatan, makna-makna batinnya, serta memenuhi kewajiban terhadap Allah di dalamnya seperti pengagungan, khusyuk, khudhuâ1, kehadiran hati, adab kesopanan dalam berhadapan dengan-Nya sesuai dengan keagungan hadirat-Nya Yang Mahasuci, Mahamulia, dan Mahatinggi itu melaksanakan ritus-ritus ibadah, seperti shalat, puasa, tilawah Al-Quran, dan zikir kepada Allah Swt. hanya menghasilkan ke¬lelahan dan kepenatan semata-mata, tak ada gunanya sedikit pun.
Hal inilah yang diisyaratkan oleh sabda Nabi Saw.:
"Betapa banyak orang yang berdiri pada shalat malam hari, tetapi tak memperoleh sesuatu sebagai hasil berdirinya selain kekurangan tidur dan letih. Dan, betapa banyaknya orang berpuasa, tetapi tak memperoleh sesuatu dari puasanya itu selain lapar dan dahaga."
Imam 'Ali bin Abi Th'alib r.a. berkata, "Tiada kebaikan pada pengajian Al-Quran yang dilakukan tanpa perhatian sedikit pun akan maknanya."
Bahkan, mungkin sekali orang yang melaksanakan ritus-ritus ibadah tanpa ihsan di dalamnya tidak saja akan sia-sia amalannya itu, tetapi bisa-bisa ia bahkan berdosa sebagaimana yang terjadi dengan orang-orang yang mengerjakan shalat dan sebagainya karena (ingin dipuji). Hal ini juga seperti orang yang tidak mau berusaha memperbaiki bacaannya, ruku'nya, dan sujudnya dengan tidak memenuhi ketentuan-ketentuannya. Dengan demikian, ia pun telah menjalani ibadah yang batal, akan letih dan sekaligus berdosa karenanya.
Oleh karena itu, apabila engkau beramal, sempurnakanlah amalmu itu. Penuhilah semua yang diwajibkan ataupun yang dianjurkan, pada setiap bagiannya, dengan kehadiran hati dan kesopanan di hadapan Allah sehingga amalan sedikit pun yang engkau kerjakan dengan ihsan menjadi lebih afdhal, lebih utama, dan lebih bersih di sisi Allah daripada amalan yang banyak, tetapi tidak disertai dengan ihsan dan tidak dilaksanakan sebagaimana layaknya. Ketahuilah baik-baik dan amalkanlah itu, semoga Allah Swt. mencurahkan hidayah-Nya kepadamu.
Rasulullah Saw. telah bersabda:
"Sesungguhnya Allah Swt. telah menetapkan ihsan atas segala sesuatu. Maka, apabila kalian membunuh, bunuhlah dengan ihsan (yakni dengan sebaik-baik cara), dan apabila menyembelih, sembelihlah dengan ihsan."2 (HR.Ahmad, Abu Dawud)
Perhatikan dan pahamilah baik-baik ucapan Rasulullah Saw. bahwa Allah Swt. menetapkan ihsan atas segala sesuatu. Itulah cara yang mengubah segalanya menjadi lebih baik. Sehingga, apabila ihsan telah terlepas dari sesuatu, jadilah ia buruk dan jelek atau tidak baik dan tidak patut.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!
Keterangan:
Khudhu: merendah dan tunduk, hampir sama dengan khusyuk.
Maksudnya, jika menyembelih binatang dengan pisau yang tajam sehingga mengurangi penderitaannya, serta dengan ihsan berarti, merasa dilihat-diawasi oleh Allah SWT bahwa binatang sembelihan itu merupakan barang yang halal (bukan curian dsb). 

Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ˜alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ˜alaa Sayidina Muhammadin wa ˜alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] 
14. lhsan dalam Melakukan Kebaikan dan Meninggalkan Keburukan
Sebagaimana telah sepatutnya, bahkan seharusnya, Anda ber-ihsan dalam amal-amal saleh, kebajikan, dan kebaikan serta segala yang Anda lakukan karena Allah Swt., demikian pula sepatutnya Anda ber-ihsan dalam meninggalkan perbuatan terlarang yang semata-mata Anda tinggalkan karena Allah Swt., yaitu perbuatan-perbuatan buruk, haram, syubhat1, dan syahwat.
Yang dimaksudkan berihsan dalam meninggalkan hal-hal terlarang ini ialah meninggalkannya semata-mata karena ikhlas, taâzhim2 malu, cemas, segan, dan takut kepada Allah Swt. dan bukan karena malu, ingin dipuji, atau takut kepada makhluk-Nya. Demikian pula termasuk dalam makna ihsan apabila Anda secara lahiriah meninggalkan jauh-jauh; dan secara batiniah mencegah diri Anda dari menyebutnya dalam hati, cenderung padanya, ataupun membersitkan keinginan untuk mengalaminya/melakukannya. Tentunya semua ini sejauh kemampuan seseorang.
Juga, termasuk dalam makna meninggalkan dengan ihsan, bilamana Anda menjauhkan diri dari tempat-tempat yang dapat memungkinkan segala yang Anda khawatirkan terjadi pada diri Anda, dan Anda dapat terjerumus di dalamnya. Demikian pula mencegah diri dari pergaulan dengan orang-orang yang dapat mengajak Anda ke jalan kejahatan atau kawan-kawan jahat yang membuat Anda menghampiri kejahatan. Camkan itu baik-baik, semoga Anda beroleh taufik atas perkenan Allah Swt.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!
Keterangan:
Subhat : sesuatu yang meragukan antara halal dan haram.
Taâzhim; penghormatan, pengagungan.
Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ˜alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ˜alaa Sayidina Muhammadin wa ˜alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] 
15. Menyibukkan dengan llmu-llmu yang Bermanfaat
Ilmu itu amat sangat banyak, tetapi tidak semuanya bermanfaat atau perlu bagi setiap orang. Sebagiannya bermanfaat dan perlu untuk sebagian orang dan tidak bagi sebagiannya yang lain. Atau, pada suatu masa dan tidak pada masa lainnya. Juga, dalam suatu keadaan tetapi tidak pada keadaannya yang lain. Sebagian ilmu bahkan ada yang menyebabkan mudarat, tiada manfaat sedikit pun padanya, atau sia-sia, bahkan tidak perlu sama sekali.
Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali rahimahullah telah menjelaskan sebagian tentang ilmu pada Bab Ilmu dalam bukunya, lhya' Ullumudiin. Oleh sebab itu, seorang yang berakal sehat dan cerdas sepatutnya hanya menyibukkan dirinya dengan ilmu-ilmu yang perlu dan bermanfaat, bahkan yang paling perlu dan paling bermanfaat saja, untuk kepentingan dirinya secara khusus, kemudian baru untuk kepentingan orang lain, jika ia memang memiliki keahlian serta kesempatan untuk hal seperti itu. Sebab, usia seseorang amat pendek, waktu yang dimilikinya sangat berharga, maut selalu dekat, perjalanan masih jauh, dan berdiri dihadapan Allah untuk menjalani perhitungan atas segala yang besar dan kecil sekecil-kecilnya sungguh amat berbahaya dan sulit.
Penjelasan di atas hendaknya diterapkan juga pada semua ihwal kehidupan. Yakni, apabila seseorang menganggap dirinya berakal waras, seyogyanya ia tidak menyibukkan diri kecuali dengan urusan yang paling perlu dan paling bermanfaat. Ia juga sebaiknya tidak menjerumuskan diri dalam kesibukan-kesibukan yang diketahuinya telah menjerumuskan orang lain dalam kerisauan dan keresahan. Apabila seseorang dapat mengambil kebijaksanaan seperti ini dalam urusan-urusan kehidupan duniawinya, sudah tentu ia berbuat lebih baik lagi dalam urusan-urusan ukhrawinya (agama-akhirat).Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali rahimahullah telah menjelaskan sebagian tentang ilmu pada Bab Ilmu dalam bukunya, lhya' Ullumudiin. Oleh sebab itu, seorang yang berakal sehat dan cerdas sepatutnya hanya menyibukkan dirinya dengan ilmu-ilmu yang perlu dan bermanfaat, bahkan yang paling perlu dan paling bermanfaat saja, untuk kepentingan dirinya secara khusus, kemudian baru untuk kepentingan orang lain, jika ia memang memiliki keahlian serta kesempatan untuk hal seperti itu. Sebab, usia seseorang amat pendek, waktu yang dimilikinya sangat berharga, maut selalu dekat, perjalanan masih jauh, dan berdiri dihadapan Allah untuk menjalani perhitungan atas segala yang besar dan kecil sekecil-kecilnya sungguh amat berbahaya dan sulit.
Penjelasan di atas hendaknya diterapkan juga pada semua ihwal kehidupan. Yakni, apabila seseorang menganggap dirinya berakal waras, seyogyanya ia tidak menyibukkan diri kecuali dengan urusan yang paling perlu dan paling bermanfaat. Ia juga sebaiknya tidak menjerumuskan diri dalam kesibukan-kesibukan yang diketahuinya telah menjerumuskan orang lain dalam kerisauan dan keresahan. Apabila seseorang dapat mengambil kebijaksanaan seperti ini dalam urusan-urusan kehidupan duniawinya, sudah tentu ia berbuat lebih baik lagi dalam urusan-urusan ukhrawinya (agama-akhirat).Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali rahimahullah telah menjelaskan sebagian tentang ilmu pada Bab Ilmu dalam bukunya, lhya' Ullumudiin. Oleh sebab itu, seorang yang berakal sehat dan cerdas sepatutnya hanya menyibukkan dirinya dengan ilmu-ilmu yang perlu dan bermanfaat, bahkan yang paling perlu dan paling bermanfaat saja, untuk kepentingan dirinya secara khusus, kemudian baru untuk kepentingan orang lain, jika ia memang memiliki keahlian serta kesempatan untuk hal seperti itu. Sebab, usia seseorang amat pendek, waktu yang dimilikinya sangat berharga, maut selalu dekat, perjalanan masih jauh, dan berdiri dihadapan Allah untuk menjalani perhitungan atas segala yang besar dan kecil sekecil-kecilnya sungguh amat berbahaya dan sulit.
Penjelasan di atas hendaknya diterapkan juga pada semua ihwal kehidupan. Yakni, apabila seseorang menganggap dirinya berakal waras, seyogyanya ia tidak menyibukkan diri kecuali dengan urusan yang paling perlu dan paling bermanfaat. Ia juga sebaiknya tidak menjerumuskan diri dalam kesibukan-kesibukan yang diketahuinya telah menjerumuskan orang lain dalam kerisauan dan keresahan. Apabila seseorang dapat mengambil kebijaksanaan seperti ini dalam urusan-urusan kehidupan duniawinya, sudah tentu ia berbuat lebih baik lagi dalam urusan-urusan ukhrawinya (agama-akhirat).
Betapapun juga, seseorang yang mendahulukan kepentingan orang lain dalam urusan-urusan kehidupan duniawi barangkali patut dipuji dan hal itu dianggap suatu perbuatan baik. Tetapi, tidak demikian halnya dalam urusan-urusan agama. Sebab, keadaannya berlawanan arah dengan yang sebelumnya.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!
Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ˜alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik âalaa Sayidina Muhammadin wa ˜alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] 
16. Neraca untuk Mengetahui llmu-ilmu yang Bermanfaat
Jika Anda ingin mengetahui tentang ilmu dan amal yang bermanfaat dan perlu atau yang paling bermanfaat dan paling perlu untuk diri Anda secara khusus, bayangkanlah diri Anda akan mati esok hari. Bayangkan pula Anda saat ini sedang menuju hadirat Allah Swt., berdiri di hadapan-Nya, lalu Dia menanyakan kepada Anda segala sesuatu tentang ilmu dan amal serta seluruh keadaan dan ihwal Anda, kemudian Anda akan menjadi penghuni surga atau neraka!
Nah, sesuatu yang perlu dan bermanfaat ialah yang Anda anggap lebih utama pada saat membayangkan hal-hal tersebut di atas. Segala yang lebih perlu, lebih patut, dan lebih wajib hendaknya Anda sibukkan diri dengannya, dan terus-menerus mengerjakannya. Segala yang, ketika membayangkan hal-hal tersebut, Anda anggap tidak bermanfaat dan tidak perlu, sepatutnya jangan Anda kerjakan atau singgah di sana.
Perhatikan titik rahasia ini dengan saksama dan renungkanlah baik-baik. Sebab, ia amat besar faedahnya dan sering kali terjadi, khususnya bagi orang yang terbuka mata hatinya dan mencurahkan perhatian penuh pada saat-saat ketika kembali kepada Allah Swt., ketika kejayaannya kelak di kediamannya di akhirat jauh lebih utama dan lebih langgeng.
Sungguh, taufik dan karunia berada dalam genggaman Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, dan sungguh Allah adalah Yang Maha Pemberi anugerah nan agung.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!
Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil âalaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik âalaa Sayidina Muhammadin wa âlaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] 

Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil âalaamin
Allaahumma shalli wa sallim wa barik âalaa Sayidina Muhammadin wa âlaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.
Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] 

Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil âalaamin
Allaahumma shalli wa sallim wa barik âalaa Sayidina Muhammadin wa âlaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.
Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] 

17. llmu yang Paling Bermanfaat dan Buah Memperbanyak Renungan kepada-Nya
Ilmu yang paling mencakup, paling bermanfaat, dan paling sehat ialah ilmu-ilmu yang paling dekat dan menyerupai apa yang teruraikan dalam Kitab Allah Swt. dan Sunnah Rasul-Nya SAW, serta yang banyak sekali sebutan dan pengulangannya pada kedua-duanya. Yaitu, seperti pengetahuan tentang Allah, sifat-sifat-Nya, nama-nama-Nya, tindakan-tindakan-Nya, perintah-perintah-Nya, serta sebutan tentang sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan manusia yang mendekatkan diri kepada-Nya. Juga, pengetahuan tentang larangan-larangan-Nya dan sebutan tentang sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan manusia yang menjauhkan diri dari-Nya. Demikian pula pengetahuan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan kehidupan akhirat, cara-cara kembali kepada Allah Swt., serta hal ihwal yang berkaitan dengan itu. Sebutan tentang surga, tempat kediaman orang-orang yang bahagia, dan tentang neraka, tempat kediaman orang-orang nestapa. Ilmu-ilmu ini adalah pokok segala ilmu, tujuan utamanya serta inti saripatinya.
Sering merenungi dan mempelajari ilmu-ilmu di atas akan membuahkan tambahan iman dan keyakinan kepada Allah, Rasul-Nya, dan hari akhir; mendorong untuk tetap dalam ketaatan dan ibadah kepada Allah Swt., serta meninggalkan perbuatan kejahatan dan kemungkaran yang mendatangkan murka-Nya. Hal itu juga akan mencegah kita dari kebanyakan angan-angan kosong yang membuat orang melupakan persiapan untuk mati. Sebaliknya, ia mengajak untuk membekali diri guna kehidupan yang akan datang, cinta akan perjumpaan dengan Allah, zuhud pada dunia, senang pada akhirat dan perilaku-perilaku lain yang mulia seperti itu, serta amal-amal saleh yang merupakan kebiasaan para wali Allah (Kekasih Allah Swt).
Apabila Anda perhatikan buku-buku yang amat bermanfaat yang dikarang oleh imam-imam dalam agama, tidak ada di antaranya yang lebih mencakup ilmu-ilmu tersebut daripada buku-buku karangan Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali rahimahullah, seperti Ihyaâ Ulum Al-Din, Al-Arbaâin Ushul Al-Din, Minhaj dan Bidayah Al-Hidayah. Ilmu-ilmu ini dapat diketahui oleh mereka yang memerhatikan dan mencamkannya baik-baik, yakni orang-orang yang selalu mengamalkan kebenaran dan kejujuran serta mereka yang telah tercerahkan nuraninya dalam agama. Tidak pula akan mengingkarinya kecuali seorang dungu yang tak tahu diri atau seorang licik yang pura-pura tidak tahu, menipu dirinya sendiri, serta bersikap lengah terhadap kehidupan mendatang.
Semoga Allah Swt. dengan karunia-Nya mengilhami pikiran kita dengan kebenaran dan melindungi kita dari kejahatan diri kita sendiri serta keburukan perbuatan-perbuatan kita. Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan perkenan Allah Swt. 

Semoga Allah Swt. dengan karunia-Nya mengilhami pikiran kita dengan kebenaran dan melindungi kita dari kejahatan diri kita sendiri serta keburukan perbuatan-perbuatan kita. Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan perkenan Allah Swt. Semoga Allah Swt. dengan karunia-Nya mengilhami pikiran kita dengan kebenaran dan melindungi kita dari kejahatan diri kita sendiri serta keburukan perbuatan-perbuatan kita. Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan perkenan Allah Swt.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!
Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ˜alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik âalaa Sayidina Muhammadin wa âlaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] 
18. Melepaskan Kebimbangan dalam Memilih Jalan (Thariqah) 
Sebagian orang yang mencari kebenaran dan ber-suluk1 di jalan Allah adakalanya melihat banyaknya ragam ilmu, amal, dan jalan (thariqah) menuju Allah Swt. la menjadi bingung, mana yang harus dipilih dan jalan mana yang harus ditempuh. Hal ini mungkin menyebabkannya tetap berhenti di tempatnya karena dilanda kebingungan. Oleh sebab itu, bagi siapa yang mengalami hal atau keadaan seperti itu atau yang serupa dengan itu, hendaknya ia berpikir dengan tenang. Apabila ia berada di bawah pengawasan seorang syaikh2 (guru) yang ˜Alim, 'arif3, dan muhaqqiq4, wajiblah ia memilih dan mengandalkan apa yang diisyaratkan atau ditentukan oleh syaikhnya itu, baik dalam hal ilmu, amal, sikap, jalan, kepercayaan, ataupun urusan kehidupan. Demikian itu sudah cukup baginya.
Namun, apabila orang yang bersuluk tidak berada di bawah pengawasan seorang syaikh sama sekali, atau seorang syaikh yang tidak memiliki sifat-sifat seperti yang telah kami sebutkan, hendaknya ia mengetahui, pertama-tama, bahwa di antara berbagai ilmu dan amal, ada yang difardukan atas setiap individu, tidak bagi setiap orang. Yaitu, seperti ilmu tentang keimanan yang dapat membentengi akidah, atau ilmu keislaman, termasuk di dalamnya yang bersangkutan dengan thaharah5, shalat, puasa, dan sebagainya. Hal-hal ini tidak boleh tidak harus diketahui dan diamalkan, apa pun yang terjadi. Jika telah selesai mencakup (mengetahui dan mengamalkan) itu semua, hendaknya ia memilih amal-amal, ilmu-ilmu, cara-cara, dan aturan-aturan yang dianggapnya lebih sesuai untuk dirinya, lebih berkesan di hatinya, dan lebih dekat pada ridha Tuhannya. Yang demikian ini tidak akan tersembunyi baginya selama ia benar-benar tulus dalam tujuan, keinginan, serta pencariannya akan Tuhannya serta jalan keridhaan-Nya.
Di sini mereka yang bersuluk dan mencari kebenaran akan menjumpai perbedaan yang amat besar. Sebagian dari mereka cocok baginya ilmu yang ini dan sebagian lainnya cocok baginya ilmu yang lain pula. Demikian juga di bidang amalan; ada dari para pencari ini yang cocok dan sesuai baginya bersikap 'uzlah6 (menyendiri) agar dapat mencapai hasil, tetapi bagi yang lain justru tidak cocok baginya kecuali bergaul dengan khalayak. Ada yang tidak sesuai baginya kecuali mencegah diri dari segala usaha memperoleh kebutuhan hidupnya, sedangkan yang lain tidak sesuai baginya kecuali terjun dalam usaha tersebut. Begitu pula dalam persoalan perlunya bepergian jauh dan mengembara untuk memperoleh yang dicari atau tetap berdiam di tempatnya. Demikian itu berlaku seterusnya dalam berbagai ihwal dan persoalan yang berbeda-beda.
Apabila orang yang bersuluk itu telah memilih cara yang menurut pendapatnya paling sesuai, paling cocok, dan paling dekat pada keridhaan Tuhannya serta mendatangkan anugerah dari-Nya, tidak sepatutnya ia mengecam atau memusuhi cara yang berlainan dengan caranya sendiri atau jalan (thariqah8) yang berbeda dengan yang ia tempuh semata-mata karena itu bukan cara dan jalannya sendiri. Padahal, ia termasuk di antara cara dan jalan yang direstui dalam syariat dan dipersaksikan kebenarannya dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya. Sedangkan, Allah Swt. (bagi-Nya segala puji) telah menetapkan bagi tiap ilmu, orang-orang ˜alim tertentu yang mengamalkannya ; bagi tiap jalan, orang-orang yang menempuhnya; dan bagi tiap kedudukan dan cara, orang-orang yang mendudukinya dan menjalaninya. Tidak akan cocok bagi mereka kecuali itu, dan tak akan mendapatkan ridhaNya kecuali dengan cara itu. Dalam hal itu terkandung suatu rahasia, bahkan banyak rahasia, dan banyak pula hikmah yang membutuhkan renungan yang panjang dan amat sulit dicapai kecuali oleh para ahli yang telah tercerahkan nuraninya dan tersucikan batinnya, yaitu orang-orang yang memandang dengan nur Allah Swt., yang mendalam ilmunya, yang di-kasyfkan7 baginya soal-soal ghaib dari hadirat Allah Swt.
Selain itu, seseorang yang bersuluk hendaknya memperhitungkan sekiranya ia setiap kali mempelajari dan mengkaji suatu ilmu, amal, jalan, dan keadaan yang bukan menjadi pegangannya, selalu merasakan kericuhan dalam hatinya serta kekalutan dalam suluknya itu, sebaiknya ia menghentikan pengkajiannya itu dan tak usah ia "menyinggahinya" sama sekali. Tetapi, sekiranya tidak merasakan kericuhan dan kekalutan dalam hal itu, tak apalah ia mengkajinya juga.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!! 
Keterangan:
1.        Suluk ; metode untuk menempuh jalan Illahiyyah, taqarrub(pendekatan) kepada Sang Khaliq SWT.
2.        Syaikh ; menurut bahasa orang yang telah lanjut usianya, kemudian digunakan untuk menyebut seorang guru pembimbing ruhani, mursyid,yang telah mumpuni ilmunya dalam agama.
3.        Muhaqqiq ; orang yang telah mencapai dan meyakini kebenaran (al-Haqq) hakiki.Muhaqqiq ; orang yang telah mencapai dan meyakini kebenaran (al-Haqq) hakiki.Muhaqqiq ; orang yang telah mencapai dan meyakini kebenaran (al-Haqq) hakiki.
4.        ˜Arif ; orang bijak yang memperoleh makrifat , yakni pengetahuan mendalam tentang Allah SWT dan alam semesta, atas perkenan Allah Swt dan sebagai anugerah khusus dari-Nya.
5.        Thaharah ; Kesucian-kebersihan. Dalam istilah ilmu Fiqih berarti hal bersuci seperti wudhu, mandi janabat dsb.
6.        Uzlah ; menyendiri, mengasingkan diri. Salah satu cara yang ditempuh dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah Swt.
7.        Uzlah ; menyendiri, mengasingkan diri. Salah satu cara yang ditempuh dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah Swt.
7.       Uzlah ; menyendiri, mengasingkan diri. Salah satu cara yang ditempuh dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah Swt.
7.        Kasy ; penyingkapan hal-hal ghaib secara spiritual oleh Allah Swt bagi hamba yang dikehendakiNya.
8.        Thariqah ; jalan. Kaum para ahli tasawuf memiliki metode cara-cara tersendiri dalam mencari kebenaran dan pendekatan kepada Allah Swt sesuai dengan pedoman Al-Qurâan dan Hadist, cara yang dipilih masing-masing jalan tersebut disebut Thariqah (Tarekat). 

Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ˜alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ˜alaa Sayidina Muhammadin wa ˜alaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.

19. Larangan Memusuhi "Jalan" Lain yang Berseberangan
Hendaknya orang yang bersuluk menyadari bahwa banyaknya ragam ilmu, amal, dan thariqah1serta terdapatnya kebaikan di dalamnya, semuanya untuk manusia, secara keseluruhan, dan bahwa setiap orang dari mereka mungkin cocok baginya suatu cara dan bermudarat baginya cara lainnya atau tidak menjadi kebaikan baginya. Semua itu dapat diumpamakan seperti meja hidangan yang di atasnya tersusun rapi berbagai macam makanan yang banyak agar para hadirin dan undangan dapat memilih apa yang sesuai untuknya, cocok bagi seleranya, dan baik untuk kondisi fisiknya, seraya meninggalkan makanan selain itu karena mungkin hal itu justru baik dan sesuai untuk hadirin lainnya.
Juga, ibarat pasar yang menghimpun beraneka macam barang dagangan yang berlainan antara yang satu dan lainnya; apabila seseorang memasukinya, ia akan mencari barang yang dibutuhkan, cocok, dan sesuai dengan kepentingannya sambil meninggalkan barang-barang lainnya.
Dalam hal ini, orang yang bersuluk tidak berhak mengajukan protes atau menunjukkan keberatan dan ketidaksenangannya menyaksikan banyaknya barang dagangan di pasar tersebut semata-mata karena ia tidak membutuhkan dan tidak menginginkannya. Sebab, ia bukan satu-satunya pembeli sehingga tidak ada orang lain yang akan menginginkan dan menyukai sesuatu yang ia sendiri tidak menginginkannya atau menyukainya.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!!
Keterangan:
Thariqah ; jalan. Kaum para ahli tasawuf memiliki metode cara-cara tersendiri dalam mencari kebenaran dan pendekatan kepada Allah Swt sesuai dengan pedoman Al-Qurâan dan Hadist, cara yang dipilih masing-masing jalan tersebut disebut Thariqah (Tarekat). 

Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ˜alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ˜alaa Sayidina Muhammadin wa âalaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] 

20. Berbagai Kelompok dalam Memilih Jalan (thariqah)
Jika Anda telah mengetahui maksud pengambilan perumpamaan dengan meja hidangan dan pasar serta dengan banyaknya ragam makanan dan barang dagangan pada keduanya, dan bahwa itu semua disediakan untuk semua hadirin agar masing-masing mengambil yang diinginkannya dari apa yang cocok baginya dan baik untuk dirinya, kini ketahuilah bahwa berkenaan dengan itu manusia terbagi menjadi empat golongan: 
Orang yang jika melihat banyaknya ragam makanan dan barang hanya mau mengambil apa yang sekiranya baik dan cocok untuk dirinya tanpa memiliki keberatan ataupun keinginan pada sesuatu selain dari itu. Inilah orang yang sehat akalnya, piawai, dan berpandangan luas.
Orang yang mengambil apa yang dianggapnya baik untuk dirinya sendiri, tidak menyukai sesuatu selain itu, dan mengira bahwa tidak seorang pun akan menyukainya pula. Orang seperti ini agak bodoh dan berpandangan sempit.
Orang yang menginginkan segala yang dilihatnya, yang baik dan cocok baginya maupun yang tidak baik dan tidak sesuai dengannya. Sehingga, adakalanya ia menginginkan sesuatu yang tidak baik baginya dan tidak patut. Mungkin pula pada suatu waktu ia menginginkan yang "ini" dan pada waktu lain ia menginginkan yang "itu". Orang seperti itu selain agak dungu, juga gemar mencampuri segala sesuatu tanpa pemikiran yang bijaksana.
Orang yang jika melihat banyaknya ragam makanan dan barang menjadi ragu-ragu dan bingung, lalu tidak mampu menentukan apa yang diinginkannya atau apa yang diambilnya. Orang seperti itu terus-menerus berada dalam kebingungan dan keraguan. 
Keadaan-keadaan yang bersesuaian dengan pembagian ini dapat terjadi pula atas diri orang-orang yang memerhatikan berbagai ilmu, ibadah, thariqah, dan ihwal yang berlainan. Berkaitan dengan itu, seseorang dari mereka adakalanya menginginkan "semuanya"; yang lain berada dalam kebingungan dan tidak tahu lagi apa yang akan diikutinya, ada pula yang berpegang erat-erat pada sesuatu yang dianggapnya baik untuk dirinya, lalu ia sangat membenci segala sesuatu lainnya, menentangnya, dan memusuhinya; itu semua menunjukkan kekurangan pengetahuan, kelemahan jiwa, dan kepicikan pandangan.
Maka, camkanlah wahai saudaraku yang sedang "mencari-cari", dan pahamilah baik-baik penjelasan yang telah kami sebutkan tadi. Sebab, hal itu sangat penting dan merupakan pedoman utama. Sebagai contoh, ketika baru mulai bersuluk, Syaikh ˜Arifbillah al-Imam Abi Al-Hasan Al-Syadzili1 rahimahullah pernah mengalami kebimbangan yang sangat antara keinginan memperdalam berbagai ilmu atau ber-tajarrud2 untuk ibadah dan pengembaraan. Lama sekali ia berada dalam keadaan itu, sampai akhirnya ia mendatangi seorang syaikh yang kemudian membebaskannya dari kebingungan itu. Kisahnya masyhur di mana-mana. Seperti itu pula, atau hampir sama dengan itu, apa yang dialami oleh Syaikh yang mulia Abdullah bin As'ad Al-Yafi`i rahimahullah. Dia berkata, "Ketika aku sedang diliputi keadaan tersebut, yakni kebimbangan antara mendalami ilmu atau ber-tajarrud untuk ibadah dan pendekatan diri kepada Allah Swt., secara kebetulan kuambil sebuah kitab untuk kupelajari. Tiba-tiba, kulihat sehelai kertas tersisip di dalamnya, yang bukan bagian dari kitab itu dan tidak pemah kulihat sebelumnya walaupun seringnya aku membaca kitab tersebut. Pada kertas itu tertulis beberapa bait syair antara lain:
Alihkan dirimu dari segala keresahan.
Serahkan segalanya kepada yang dikehendaki- Nya. 
Demikianlah, sesuai dengan uraian di atas, Anda tentunya dapat mengetahui bahwa keadaan seperti itu sering kali terjadi atas diri "para pemula" dan ahli suluk pada awal masa suluk mereka.
Pernah aku mengunjungi Al-Sayyid Al-˜Arif Abdurrahman bin Syaikh Al-Aidit Al-Alawi.rhm, beliau menyebutkan telah menerima surat dari Al-Sayyid Al-Shufi Abdullah bin Muhammad Al-Alawi.rhm yang menetap di Kota suci Madinah. Dalam suratnya itu, dia menyebutkan bahwa dirinya disibukkan dengan membaca berbagai macam kitab yang menimbulkan rasa tak enak dalam hatinya. Al-Sayyid 'Abdurrahman bertanya kepadaku, "Bagaimana pendapatmu? Apa yang harus kukatakan kepadanya?" "Anda lebih mengerti," jawabku. Dia lalu berkata, Aku akan menulis kepadanya agar dia meninggalkan kitab-kitab itu semuanya atau jangan terlalu sering membacanya."
Dalam hati aku menyadari bahwa keluhan yang dikemukakan oleh Sayyid Abdullah bin Muhammad tersebut disebabkan oleh munculnya kebimbangan dan keraguan pada dirinya ketika dia membaca kita-kitab itu dan berhadapan dengan beraneka ragam thariqah dan ihwal yang saling berlainan. Beberapa waktu kemudian, ketika mengunjungi Kota suci Madinah untuk melakukan ziarah ke makam Rasulullah Saw, aku sering berjumpa dengan Sayyid Abdullah tersebut dalam beberapa sarasehan (pertemuan), dan aku beroleh banyak manfaat dan hikmah dari beliau. Dia seorang sayyid3 yang mulia perilakunya dan lebih suka menyendiri, menjadi orang yang tidak menonjol, dan tak banyak dikenal.
Semoga Allah memberi kita banyak manfaat dari pribadi beliau, dari para pendahulunya, serta hamba-hamba Allah yang saleh selain mereka.
Wa min Allah at taufiq hidayah wal inayah, wa bi hurmati Habib wa bi hurmati fatihah!! 
Keterangan:
1.        Imam al-Arifbillah Ali bin Abdullah bin Abd al-Jabbar Al-Syadzili. rhm adalah seorang tokoh sufi terkemuka, pemimpin imamnya Thariqah Syadziliyyah. Meninggal dunia pada tahun 656 H.
2.        Tajarrud ; mencurahkan perhatian seluruhnya dan meninggalkan segala yang lain.
3.        Sayyid ; menurut bahasa berarti, tuan atau pemuka. Dalam arti khusus digunakan sebagai gelar bagi orang-orang keturunan Rasulullah Saw dari Sayyidina Husein bin Ali bin Abu Thalib.ra (cucu Rasulullah Saw), sebgaimana gelar Syarif untuk keturunandari Sayyidina Hasan bin Ali bin Abu Thalib.ra. adakalanya juga kedua gelar tersebut bercampur aduk antara keturunan kedua cucu Rasulullah SAW tersebut. 

Aâuudzu billaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillahir rahmaanir rahiim.Alhamdulillahi robbil ˜alaamin

Allaahumma shalli wa sallim wa barik ˜alaa Sayidina Muhammadin wa âalaa aali Sayidina Muhammadin wa ashaabihi wa azwajihi wa dzuriyyatihi wa ahli baitihi ajma'in.

Yaa Mawlana Yaa Sayyidi Madad al-Haqq.
[Al-Fushul al-Ilmiyyah wa al-Ushul al-Hukmiyyah, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra] 
Sumber: T.Fidriansyah (zawiya@.....com)